"Yeaaay sampee!" Teriak orang-orang penuh semangat ketika baru saja turun dari bus. Entahlah, mungkin hanya Lubna disini yang tidak sebahagia mereka yang sekarang sedang asyik selfie di dekat pepohonan besar, taman, dan apapun itu yang berbau alam.
Pikirannya hanya tertuju pada satu orang yaitu, Deka. Entah bagaimana nanti dia akan menjelaskan semuanya, dia sudah membayangkan segala kemungkinan yang mungkin akan terjadi nantinya. Deka yang akan menerima dengan tulus sepenuh hati penjelasan itu atau justru sebaliknya.
Kadang orang hanya mau di dengar tetapi tidak mau mendengarkan.
Semua siswa-siswi di wajibkan berbaris dengan teratur sesuai kelas masing-masing karena alam ada pengumuman untuk tempat istirahat dan lain sebagainya. Setelah itu, barulah mereka diizinkan beristirahat sejenak untuk menghilangkan rasa letih setelah perjalanan panjang tadi. Terlebih karena kemacetan yang melanda jalan tol, bus harus menghabiskan waktu lebih lama untuk mencapai lokasi.
Tahun ini menyebalkan, Lubna tidak bisa satu tenda dengan Deka dan mengobrol hal seru tentang perjalannya. Sebuah tenda berwarna biru berdiri di samping sebuah pohon pinus yang di bawahnya di tumbuhi rerumputan hijau, di samping tenda itu ada Deka yang sedang berdiri dan mengobrol dengan seseorang. Lubna tidak mengenal orang itu, dia berniat untuk menghampiri kedua orang itu dan menjelaskan semuanya pada Deka.
Selalunya, Lubna dan Deka selalu bersama kemanapun mereka pergi.
Banyak kenangan indah yang semestinya tahun ini di ulang kembali. Apa daya, nasi sudah menjadi bubur. Deka mungkin sedang membutuhkan waktu untuk sendiri. Menenangkan dirinya dan tidak ingin di ganggu oleh siapapun, mungkin.
Butuh tenaga untuk memberanikan diri menghampiri Deka dalam situasi seperti ini, gadis itu selain memiliki sifat panik yang kelewatan, dia juga seseorang yang sangat sulit untuk menjadi pendengar, terlebih penjelasan orang apalagi kalau dia sedang slek dengan orang itu. Sebutlah Lubna.
"Deka.." sapa Lubna seramah mungkin ketika dirinya berdiri beberapa meter dari kedua orang tersebut.
"Eh gue duluan deh, ada urusan bentar." Sela gadis dengan kemeja polkadot yang di pakainya, meninggalkan Deka dan Lubna yang terkepung oleh diam. Gadis itu tersenyum ketika melewati Lubna dan di balas senyum olehnya.
Deka menatap lurus ke depan, tidak menjawab sapa Lubna apalagi sampai menengok ke arah nya. Segaris senyum getir tampak di wajah Lubna, gadis itu menatap Deka penuh harap. Berharap akan mengerti dirinya dan keadaan saat ini.
Kecanggungan yang tidak pernah ia rasakan saat bersama Deka, kini terjadi. Rasa aneh yang membuatnya tidak nyaman, ingin berbicara pun takut salah berkata. Lubna yang biasanya blak-blakan dengan segala hal jika ingin berbicara dengan Deka, sekarang harus menyiapkan matang-matang setiap kalimat yang akan di ucap.
"Dek.. gue bisa jelasin.." ucap Lubna lembut, sangat lembut, dia melangkah beberapa langkah lebih maju mendekati Deka, tangannya meraih tangan Deka dan tak lama setelah itu Deka menghempaskan tangannya dengan kasar.
"Dan gue nggak butuh penjelasan lo!" Gadis itu pergi begitu saja, mata Lubna memanas dan dengan segera dia berlari meninggalkan tempat itu untuk mencari tempat lain yang lebih sepi. Dia melihat sebuah danau, dengan keheningan yang menyelimuti. Gadis itu duduk di atas rerumputan, menenggelamkan wajahnya di antara kedua lututnya.
Jauh dari ekspektasi Lubna, Deka ternyata akan sebegitu benci padanya. Kenapa? Gara-gara cowok persahabatan menjadi korban.
Tetes air mata mulai membasahi wajahnya, mengalir bagai sungai melewati pipinya yang lembut. "Gue nggak ngerti sama semuanya.. hiks" dia memungut sebuah batu kerikil yang berada tidak jauh dari dirinya lalu melemparnya ke danau. "Kenapa semuanya jadi rumit gini?" Lubna beralih mencengkram rumput yang ada di sekitarnya lalu menjadikan flora itu sebagai pelampiasan. Mencabutnya lalu melemparnya asal ke udara.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lubna [END]
Teen FictionSekeras-kerasnya batu, kalau terus terkena tetesan hujan, maka perlahan akan berlubang. Begitupun cinta dan perasaan -Lubna Tidak ada yang berhak melarang cinta, hal itu mengalir sendiri bagai arus sungai yang tak mungkin di hentikan. -Bryan Egoisme...