"Yo buruan makannya, udah telat nih." Lubna melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya.
06:50
"Yo! Buset sepuluh menit lagi babeh bakal nutup gerbang woy!" Lubna menggoyangkan punggung Leon karena gemas akan kelakuan kakaknya yang sedang mengunyah roti bakar dengan santainya. Gadis itu kemudian berdecak kesal lalu beranjak pergi dan memutuskan untuk berangkat dengan naik angkutan umum. "Lebih baik terlambat daripada nggak sama sekali." Lubna mengucapkan kata 'terlambat' dengan penuh penekanan.
Lubna berjongkok di ambang pintu dengan satu kaki menyentuh lantai, dia mengikat tali sepatunya sambil mendumal kesal dengan kelakuan Leon. Andai saja Lisa -ibu kedua kakak beradik itu- ada di rumah, pasti tidak akan se-rumit ini. Leon akan dengan mudah menurut dan Lubna tidak perlu mendumal seperti ini.
"Minggir, ngedumel aja lo." Leon menepis kepala Lubna dengan mudahnya, bahkan terlihat seperti sedang mengusir seekor kucing. Gadis itu mendongak dan menatap Leon tajam "kalo mama pulang, gue aduin kelakuan lo yang kebangetan ini! Biar duit jajan lo di potong setengahnya, dan itu bakal jadi milik gue hahaha." Lubna tertawa penuh kemenangan, Kata 'mama' sangatlah sensitif di telinga Leon, tangan Leon yang sudah memegang knop pintu mobil langsung di lepaskannya. Dia berlari berbalik arah menghampiri Lubna,
"Ah nggak like nih gue mainnya ngadu" Leon berjongkok untuk menyamai posisinya dengan Lubna lalu mengerucutkan bibirnya, Lubna yang melihat pemandangan tersebut refleks langsung menampar bibir tipis Leon dan refleks cowok itu memekik kesakitan "sialan! gue di tampar."
"Kalo lo gamau gue adu-in ke mama, ada syaratnya." Mata Leon menyipit, perasaannya mulai tidak enak, biasanya kalau sudah begini adiknya itu pasti akan minta yang aneh-aneh."tapi ntar aja, ini udah jam.." Lubna kembali melirik jam di pergelangan tangannya,
"JAM 06:55!"
Dengan segera Lubna menutup pintu dan berlari sambil menyeret Leon ke arah mobil, Leon langsung menarik tuas dan melajukan mobilnya dengan kecepatan penuh untuk mengejar waktu.
Waktu terus berjalan, jarum jam saling mengejar. Matahari mulai menampakkan diri di hamparan langit Bogor. Akhirnya kedua kakak beradik itu sampai di depan gerbang sekolah, hanya butuh sepuluh menit bagi Leon untuk sampai di sekolah yang sebenarnya jarak dari rumah mereka ke sekolah tidaklah dekat.
"Untung nggak telat." Lubna menyisir sedikit rambutnya dengan jari-jari tangannya sambil berkaca pada layar ponsel. Tadi, Leon harus menarik tuas rem mendadak karena ada seekor kucing yang menyebrang seenaknya tanpa rasa bersalah sedikitpun. Untung saja kucing itu tidak tewas karena terlindas mobil kesayangan Leon.
"Untung gue jago drift." Ujar Leon sambil berdiri tegap. Lubna hanya mengiyakan perkataan Leon, karena bagaimanapun itu adalah faktanya. Lisa sudah sering mengingatkan pada Leon kalau dia tidak boleh melanjutkan hobi nya yang berbahaya itu, karena anak itu keras kepala, Lisa menyerah dan hanya mengatakan,
"Oke, kamu boleh nge-drift. Tapi mama ngga mau dengar sampai kamu kecelakaan ataupun melukai orang lain! Ingat itu, Leon."
Lubna berjalan menyusuri koridor kelas, setelah menyapa beberapa temannya yang tadi sempat berpapasan dengannya, gadis itu pun sampai di kelas tercinta.
"Selamat pagiii semuanyaa.." Lubna yang baru datang langsung menyapa penghuni kelas.
"Bacot ih gue lagi pusing nih."
"Gausa berisik, Na"
"Astagfirullah ini kenapa susah bangeeeet"
Segala keluh kesah terdengar.
"Ini gimana woy fisikaa?!" Bobi, cowok berkaca mata bulat dengan tubuhnya yang gemuk itu terlihat seperti Boboho. Bobi menjerit sambil berlari tanpa tahu arah, dia mengelilingi setiap meja sambil bertanya, "udah ngerjain pr?"
"Weis santai guys, nggak usah tegang gitu ah" sergah Lubna.
"Santai gimana anjir?! Lo mau di suruh nyabutin rumput liar di lapangan?" Deka angkat suara, dia adalah makhluk terpanik se-galaxy bima sakti.
"Yee gue si ogah, dan nggak akan di hukum. Secara gue udah ngerjain itu pr" Lubna berkata santai sambil berjalan ke arah kursinya lalu duduk dan mengeluarkan ponsel kesayangannya. Menyadari ada yang aneh dari lingkungan sekitarnya, Lubna langsung melirik ke seluruh penjuru kelas yang ternyata penghuni kelas sudah menatapnya seperti ingin memangsa.
"LUBNA GUE NYONTEK DONG!" Bobi merengek seperti bayi yang kehausan, kehausan kasih sayang.g
"Ih Lubna ih cantik banget ya ampun! Boleh dong gue liat pr nya" Tama ikut menimbrung gerombolan lain yang sedang membujuk rayu Lubna. Gadis itu hanya tersenyum penuh kemenangan, dia lalu mengeluarkan sebuah buku keramat yang di bagian depan tertulis 'Fisika'.
Baru saja Deka hendak merebut buku itu, Lubna langsung menariknya ke belakang. "Eitss.. ada syaratnya" goda Lubna, "kalian semua har-"
Buku di tangan Lubna sudah berpindah tangan. Sekarang buku itu sudah ada di dalam kendali Bobi, cowok yang memiliki jabatan sebagai ketua kelas. "Sorry, Na. Untuk sekarang, gaada yang lebih penting dari jawaban di buku ini." Bobi berkata dengan dramatis.
"Ya Allah, berikan keberkahan kepada Lubna selaku sekretaris kita ini ya Allah.." Aisyah langsung mengangkat kedua tangannya sambil berkata penuh harap yang di balas tawa oleh teman-teman sekelasnya.
Deka yang melihat kunci jawaban itu langsung menghampiri Bobi, "eh gue liat juga dongg, iih minggir dulu bentar!" Deka yang menurut Bobi adalah cewek yang sangat cerewet langsung di bungkam dengan satu kata, "BACOT."
semua orang yang sedang menyalin -kecuali Lubna- hampir menyelesaikan kegiatan menulisnya. Suara ketukan muncul di balik daun pintu, memunculkan seorang laki-laki berparas tampan dan berpostur tubuh tinggi. Semua mata langsung menatapnya dan seketika beralih ke Lubna, gadis itu langsung bertanya "Apa?"
"Sekretaris disini siapa?" Tanya Arka.
"Lubna!" Seru Bobi tanpa beralih sedikit pun dari buku fisika nya.
"Bu Heri ngga masuk, jadi ini ada tugas buat kelas lo, Lubna." Arka menyodorkan sebuah kertas kepada Lubna yang sudah berdiri hanya berjarak satu meter di depannya. Anak-anak lain yang mendengar kabar bahwa guru killer itu tidak masuk hari ini, sebagian ada yang rasanya ingin menggerogoti meja guru saja, karena itu artinya percuma saja mereka menulis dengan kecepatan super. Namun ada juga yang ingin sujud syukur walau sudah mencatat hingga dua lembar banyaknya, dengan begitu mereka tidak perlu mendengar mantra berupa rumus dari bu Heri.
Di banding anak-anak lain yang sibuk dengan tugas, atau sibuk bersujud atas ketidak hadiran sang guru yang bernama Heriana itu, Lubna justru sedang mengontrol detak jantungnya yang sudah berdegup tidak karuan. Rasanya jantung itu ingin loncat keluar dan berteriak kegirangan.
"Lo nggak-pa-pa?." Oke, sekarang rasanya Lubna ingin mati di telan dugong saja.
[Tbc]
KAMU SEDANG MEMBACA
Lubna [END]
Teen FictionSekeras-kerasnya batu, kalau terus terkena tetesan hujan, maka perlahan akan berlubang. Begitupun cinta dan perasaan -Lubna Tidak ada yang berhak melarang cinta, hal itu mengalir sendiri bagai arus sungai yang tak mungkin di hentikan. -Bryan Egoisme...