Setelah selesai merapikan perlatan sekolahnya, Lubna yang sudah memakai seragam langsung turun ke bawah untuk sarapan bersama. Leon sudah duduk manis di sana.
Lubna duduk dan berusaha menerima semua fakta dengan lapang dada. Setelah semalaman berpikir, ia rasa tidak ada salahnya menerima kedatangan orang baru. Mungkin di sisi lain orang itu akan bisa membantu keuangan keluarganya, dan Lisa tidak perlu bekerja keras lagi. Bahkan Lisa tidak perlu lagi memegang dua peran sekaligus, yaitu sebagai ibu rumah tangga dan sebagai seorang tulang punggung keluarga.
“Una, kamu udah nggak marah sama mama kan?” tanya Lisa, dia menuang air ke dalam gelas untuk Lubna, lalu menaruhnya di depan gadis itu. Lubna diam beberapa saat, “Dek, Una sayang maafin mama ya?” Lisa bangun lalu mengelus kepala Lubna.
“waktu itu aku emang sempat marah sama mama, dan kebetulan waktu itu keadaan aku lagi nggak baik, jadi aku juga minta maaf ke mama atas sikap aku yang gak sopan itu..”
Tampak keterkejutan di wajah Lisa, “iya sayang.. mama maafin” Lisa mengecup puncak kepala Lubna sambil tersenyum, Lubna lalu memeluk Lisa.
“Mama boleh nikah lagi, asalkan..” Lagi, Lisa yang terkejut dengan ucapan Lubna barusan, lansung menangkup wajah Lubna dan menatapnya serius.
“Kamu serius, Na?” tanya Lisa, Leon saat ini hanya menjadi nyamuk bagi mereka berdua. Diam-diam pun Leon menghabisi jatah sarapannya Lubna.
Lubna mengangguk, mengiyakan keseriusan ucapan nya tadi. “Iya Ma, asalkan rasa sayang mama ke aku dan bang Leon nggak pernah berubah”
Leon tersedak, “UHUK!” Lubna dan Lisa langsung menatapnya khawatir. Lisa langsung mengambilkan segelas air untuk Leon. “Lain kali pelan-pelan bang makannya..”
Melihat ada yang aneh pada piring nya, Lubna menatap Leon tajam dan cowok itu hanya cengengesan sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. “So-sorry Na, abang ganti jatah sarapannya, jangan marah yaa adik manis..”
“LEOOOOON!” Lubna berdiri dan mencubiti Leon, membuat lengan cowok itu memerah akibatnya. “aw! Ampun Na!”
“Ampun apa hah?! Emangnya si ampun bisa balikin jatah sarapan Una?!”
“Ampuuun seribu ampun deh! Nanti di sekolah gue ganti pake bakso, sumpah!” mendengar itu, Lubna langsung berhenti 'menyiksa' kakaknya. Akhirnya kalimat yang setimpal dengan sarapannya itu terucap.
“Oke, Una maafin.”
“Dasar, maniak makanan” Leon hanya mencibir kecil, tapi Lubna bisa mendengarnya. Lubna lalu menatapnya tajam, Leon langsung berdelik melihatnya “iya iyaaa maaf. Ampun nyai, jangan cubit saya lagi..” Leon menyatukan kedua tangannya seperti sedang memohon.
Melihat tingkah kedua anaknya, Lisa hanya bisa tersenyum sambil geleng kepala. “Udah Na, Bang, kalian mau terlambat datang ke sekolah gara-gara sarapan?”
“Iya ma, ini Leon mau berangkat.”
Leon mengambil tasnya yang dia taruh di bawah kursi meja makan tadi, lalu menyampirkan nya pada salah satu lengannya. “saya tunggu di depan ya, Nyai” Lubna melihat dengan sinis ke arah Leon, lalu memakai tas dan menyusulnya.
“Tunggu, Na. Nih buat sarapan kamu” Lisa menyodorkan sepotong roti dengan sayuran di dalamnya.
“Tapi ini kan sarapannya mama, nanti mama makan apa?”
“Gampang, mama belum laper. Udah sana, nanti di tinggal abang kamu lho” Lisa mencubit hidung Lubna, gadis itu tersenyum dan memeluk Lisa.
Kadanh seorang ibu memang dapat dengan mudah menyerahkan apapun yang dia punya demi kepentingan dan kebahagiaan anaknya. “Makasih, ma” sebelum Lubna berangkat, dia mencium pipi kanan Lisa dan bergegas menuju Leon yang pasti sedang mendumal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lubna [END]
Teen FictionSekeras-kerasnya batu, kalau terus terkena tetesan hujan, maka perlahan akan berlubang. Begitupun cinta dan perasaan -Lubna Tidak ada yang berhak melarang cinta, hal itu mengalir sendiri bagai arus sungai yang tak mungkin di hentikan. -Bryan Egoisme...