6. Ada kalanya bos tidak bisa di bantah.

15.3K 1.1K 10
                                    

“Nyesel gue, nyesel ngomongin bos.” Efek kembali ke kantor. Rasanya si bos lebih menggila daripada tadi pagi. Semua kena damprat, hal sepele saja bisa jadi besar. Ya Tuhan~

“Tomcat, lo tahu sesuatu nggak? Kenapa si bos marah-marah terus?” tanya Tiar kepada Tomas tang celingukan mencari-cari gula di dekat dispenser. Kali ini giliran Sinta, Maya dan Mbak Rena di panggil ke ruangan bos. Tiar sedikit cemas karena mereka dipanggil sekaligus. Tomas menggeleng pelan sebagai jawaban atas pertanyaan Tiar. Gadis itu merasa perutnya mulas dan tidak karuan.

“Alex masih terus evaluasi tentang apa yang membuat omset kita turun.” Akhirnya  Tomas bersuara. “Paling-paling, mereka bertiga cuma di interogasi tipis-tipis,” lanjutnya.

“Maksudnya apa tuh? Interogasi tipis-tipis?” Istilah-istilah Tomas itu kadang ajaib banget. Jadi tidak semua orang bisa langsung mengerti dengan kata-katanya.

“Udah tenang aja. Gue belum lihat dia ngamuk.”

Definisi mengamuk di sini adalah suara super keras penuh emosi  disertai dengan gebrakan meja. Walaupun Alex sangat jarang melakukannya. Lebih sering dengan ekspresi muram yang siap membunuh siapa saja. Percaya saja, jika si bos sudah seperti itu, minum pun rasanya seret.

“Jangan sampai deh. Terakhir dia ngamuk aja gebrakan mejanya sampai terdengar dari sini.”

Tiar sudah kembali ke mejanya ketika si bos keluar dari ruangan di ikuti Mbak Rena, Maya, dan Sinta. Tomas juga sudah pergi entah ke mana.

“Tiar, ke ruang meeting.” Pak Alex memberi perintah sambil berlalu menuju ruang meeting. Right now. Tiar langsung mengekor ke ruang meeting, sebelum taringnya keluar. Ternyata ada ketiga temannya juga. Sebelumnya Tiar mengira akan face to face adu pendapat seperti sebelumnya.

Tiar masuk paling akhir di sana. Shit! Mereka hanya menyisakan kursi kosong di sebelah kanan bos. Mau tidak mau Tiar duduk di sana. Dan sebelahnya lagi Citra sekretarisnya. Rasa tegang dan resah mulai menjalar. Bagaimana tidak? Segala gerak-geriknya tidak akan luput dari pengamatan bosnya. Gadis itu tahu, mereka sengaja mengambil tempat sejauh mungkin dari harimau lapar.

“Ok, sudah lengkap ya.”

Tiar mengangguk sopan karena datang paling akhir. Semua mata tertuju pada si bos. Kata-katanya mengalir memenuhi ruang meeting yang sebenarnya muat untuk seratus orang. Tetapi mereka hanya memakai satu meja kecil berbentuk bundar di sudut ruangan.

“Ren, lo atur plafon customer biar pengambilan bisa maksimal,” kata Pak Alex kepada Mbak Rena. Tiar tetap mencatat setiap poin penting selama meeting berlangsung tanpa banyak komentar jika tidak ditanya.

“Siap. Tapi gimana untuk yang sering over due?”

“Longgar dikitlah.” Kini Pak Hendra bersuara. Dia manager marketing di kantor. Posisinya satu tingkat di bawah Pak Alex. Untuk penampilan, tidak kalah jauh, bedanya hanya Pak Hendra sudah menikah, jadi jauh dari bahan perbincangan kantor. “Gimana, Lex? Bisa?”

“Bisa. Asal jangan keterlaluan.”

“Ok.” Mbak Rena mencatat dan mengembuskan nafas lega. Tidak ada tanda - tanda tensi meningkat dari si bos. Tiar dan yang lain masih menyimak sambil menulis dalam agendanya.

Oh my god! Di saat penting begini tinta  bolpoin Tiar habis. Mati. Gadis itu berulang kali mencorat-coret di lembar paling belakang. Tidak ada segores pun tinta keluar. Tiar sudah hampir pasrah dan mengandalkan otaknya untuk mengingat ketika Alex menyodorkan sebuah bolpoin untuknya dan tetap berbicara memberi penjelasan.

Tiar sempat terkejut terhadap benda hitam yang berada di depannya. Dia juga melihat reaksi yang sama dari Mbak Rena.

“May, lo siapin program buat customer. Yang menarik ya.”
Tiar tersenyum tipis ketika Pak Alex memberi mandat kepada Maya. Ya kali bikin program nggak pusing.

“Tiar, barang yang kemarin kita ambil margin sepuluh persen bisa?”

“Yang mana, Pak?” Bukan Tiar yang terlihat bodoh. Bosnya jarang menyebut data yang spesifik. Barang yang kemarin itu ada delapan item. Lalu, mana yang dimaksud?

“Suplemen, kita dapat 50 plus 20 kan? Jatuhnya berapa?”

“Enam puluh persen.”

“Yakin?” Pak Alex mengerutkan kening seolah tidak percaya.

“Ini bicara jumlah barang, ‘kan?” Tiar meminta kejelasan dari pertanyaannya.

“Diskon!”

Bentakan halus yang pertama. Ada dua versi membentak. Pertama hanya penekanan disertai nada tinggi. Kedua, suara keras dengan gebrakan meja.

“Dua delapan koma lima tujuh satu.” Suara gadis itu terdengar malas.

“Berapa?” tanyanya sekali lagi.

“Dua puluh delapan koma lima tujuh satu.” Tiar menyebutkan  dengan sedikit penekanan pada setiap ucapannya.

“Persen,” sambung Pak Alex seolah menyempurnakan.

Ingin rasanya menampar bosnya sendiri. Otak pinter, kan? Kenapa nggak di hitung sendiri? Tiar melihat si bos tersenyum simpul.

“Ok, kita ambil margin sepuluh persen. Sinta, lo masih training. Bagi waktu buat belajar sama yang lain.”

“Baik Pak.” Tidak ada tugas khusus untuk Sinta. Tapi si bos tetap menyuruhnya ikut supaya update dengan tugas-tugas kami. Terutama update dengan setiap perubahan tensi si bos.

Ok, meetingnya di tutup sampai sekian. Tiar melorot di kursinya setelah kalimat terakhir di ucapkan sebelum Pak Alex keluar ruangan.

“Cek harga jual masih harus di kerjakan.”

What? Tiar tidak menyangka lelaki itu belum sepenuhnya keluar dari ruangan ini. Tangannya masih memegang handel pintu yang setengah terbuka.

“Saya mau hasilnya nanti. Before 21.00 o'clock.”

“Tapi, Pak?”

“Apa lagi Tiar? Ini kan cuma kerjaan  sepele.”

What??? Berapa item produk kita bos? Lebih dari sepuluh ribu item bos. Lo nyuruh gue beresin malem ini juga? Benar-benar menguji kewarasan.
Dan si bos keluar meninggalkan kami di ruangan laknat itu.

***

“Tumben bos baik.”

Tiar mengernyitkan dahi mendengar ucapan Mbak Rena. “Baik gimana?” Mengingat pekerjaan Tiar yang mampu membuat orang waras mendadak sinting tanpa sebab. “Elo enak cuma di kasih kerjaan yang bisa di pikir sambil mimpi.” Tiar menatapnya tajam.

“Baiknya sama elo doank.” Sama halnya dengan Mbak Rena, Maya juga ikut mendukung si bos. Ini mau memuji atau nyindir?

“Biasanya nih ya, biasanya lo ini,” kata Maya sengaja memperlambat kata-katanya, “si bos itu paling benci kalo kita nggak prepare sebelum meeting. Ini bolpoint lo habis malah di kasih sama dia.” Maya sengaja mendukung Mbak Rena dengan penjelasan lebih rinci ketika Citra masih membereskan berkasnya bersama mereka di ruangan itu.

“Betul banget, May. Gue udah deg-degan tadi. Takut dia ngamuk gegara bolpoin, bukan gegara masalah kantor.” Tiar mendengar map yang di ketukkan lebih keras dari sebelah kiri tempat duduknya. Sepertinya dia mulai paham arah perbincangan Mbak Rena dan Maya. Siapa lagi yang biasa di marahi karena bolpoin macet kalau bukan sekretarisnya? Orang itu masih ada di antara mereka.

“Kalau baik sweet banget ya?” Tiar menyambut umpan yang dilempar temannya. Citra memundurkan kursinya dengan kasar dan keluar dengan menatap tajam pada Tiar.

“Tuh kan, cemburu... beneran cemburu dia.”

Mendengar komentar Mbak Rena, Tiar hanya tersenyum simpul sambil menggelengkan kepala. Dia ikut merapikan apa yang dibawanya ke ruang meeting tadi. Pikirannya sudah fokus pada pekerjaan yang menantinya.

“Kalian ini ada-ada saja.” Pak Hendra berdiri sambil tersenyum dan meninggalkan ruangan.






Resolusi Love  (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang