34. Gelisah

9.5K 698 8
                                    

Tiar masuk ke dalam gedung kantornya setelah lima menit celingukan menunggu kendaraan lengang.
"Yang nyari minum lama amat?" Maya bertanya penuh selidik kepada Tiar yang raut wajahnya sudah lebih cerah daripada ketika dia meninggalkan kantor.

"Iyalah. Pacaran dulu." Tuh kan suara Tomas selalu seperti radio rusak yang sinyalnya hilang. Tiar manyun mendengarnya.

"Kenapa balik sendiri? Si bos mana?" Haduh, manusia satu ini nyelepet mulu sih.
"Lo berisik banget tau."

"Kenapa? Si bos nyari ini ya?" Mata Tiar berhasil membola melihat sesuatu yang di acungkan Tomas. Dompet Alex.

"Dapet dari mana?" Tiar merebut dompet itu secepat dia bisa, lalu mengambil dompetnya sendiri.
"Jatuh di mobil. Karma tuh nggak ngajakin gue."
"Iya, harusnya tadi gue ngajak elu. Biar di bayarin. Ga usah capek - capek balik kantor."
"Ogah.. enak aja gue suruh traktir bos."
"Dasar pelit." Tiar segera keluar dari ruang itu dan menyusul Alex yang masih duduk tenang di rumah makan itu. Tiar langsung ke meja kasir baru setelahnya menghampiri Alex.

"Nih, punya kamu." Tiar mengulurkan dompet Alex.
"Dapet darimana?"
"Jatuh di mobil kata Tomas. Yuk, pulang." Alex segera berdiri dan mengikuti langkah Tiar.

"Awas." Alex menarik tangan Tiar sehingga gadis itu jatuh di pelukan Alex. Terdengar suara deru mesin kendaraan yang melaju sangat kencang. "Kamu nggak kena kan?" Alex meneliti kedua tangan Tiar lalu ke kakinya. Untung tidak ada goresan sedikitpun.

Gadis itu masih mengatur nafas di pelukan Alex. "Makasih, Lex." Tiar melepaskan pelukannya meskipun tangannya masih gemetar. Alex menggenggam tangan Tiar dan membawanya kembali ke dalam gedung kantor.

"Kenapa Tiar?" Maya bertanya panik melihat wajah pucat Tiar ketika masuk ke ruangan. Maya dan Tomas bergantian mengamati sepasang kekasih yang baru saja masuk ke ruangan itu.

"Nggak kenapa - kenapa." Alex menjawab rasa penasaran mereka. "Hampir ketabrak motor..."
"What?" Maya memotong perkataan Alex dan terlihat sangat panik dengan raut muka yang sulit diartikan. "Tiar, lo itu ya. Kebiasaan. Pasti nggak lihat - lihat kalau jalan." Maya berkata tanpa melihat mata Tiar yang sedikit sembab karena takut. "Dulu juga, untung di tarik Tomas." Kali ini Alex melongo. Di tarik seperti dia menarik Tiar? Awas lo Tom!

"Wah, elo kalau jalan harus bawa pengawal deh."

"Udah? Puas kalian?" Maya dan Tomas saling menatap melihat reaksi Tiar.

"Emang benerkan? May, bilang kalo bener. Itu taringnya mau keluar lo." Tomas menyenggol siku Maya dengan sikunya sendiri.

Alex tersenyum simpul melihat debat kusir di depannya.

***

Tiar melangkah masuk ke dalam rumah kontrakannya dan diikuti Alex. Alex menghempaskan badannya di sofa tengah sambil meraih remote TV. Dia masih sibuk dengan pikirannya sendiri. Tanpa sadar jemarinya hanya mengganti saluran tanpa tahu apa yang mau ia tonton. Alex masih terngiang kata - kata dari Mrs. Prayoga.

Meskipun tangannya terus bergerak paling tidak lima menit sekali, dia tetap saja tersentak saat Tiar menyandarkan kepalanya di bahu Alex. Gadis itu sudah mengganti bajunya dengan celana panjang katun dan kaos santai.
"Aku lihat kamu banyak melamun." Kata Tiar membuka percakapan.
"Nggak, nonton tv nih." Alex mencoba berkilah sambil mengusap puncak kepala Tiar.

"Aku tahu kamu bohong. Tapi seberat apapun pressing dari ibu suri, kamu jangan putus asa. Tetap sabar, jangan suka marah - marah sama karyawan. Takut semua tuh sama kamu." Tiar tidak sadar dia sudah berbicara banyak. Alex memutar kepalanya sambil melihat gadisnya yang masih bergumam.

"Termasuk kamu? Yang suka memaki di belakang saya?"
"Iya." Tiar nyengir mengakui kebadungannya dan kawan - kawan. "Nggak tahunya malah cinta sama orang yang selalu buat aku kesel." Senyum Alex mengembang mendengar perkataan Tiar.

"Kamu..." Alex mengambil jeda lalu sebelah tangannya meraih pinggang Tiar agar gadis itu mendekat "maksudku, tidak akan ada emosi tanpa alasan. Maaf selama ini buat kamu kesel, buat kamu sering lembur, buat kamu di kejar dateline tak berujung. Karena aku bukan dewa yang bisa membuatmu bahagia dalam sekejap." Tiar menyilangkan kakinya di atas sofa lalu menghadap Alex. Dia mengusap pipi Alex dengan lembut. "Yang aku lakukan merupakan proses. Proses yang akan membuat kamu bahagia. Membuat semua karyawan bahagia. Meskipun itu terasa menyebalkan, menyakitkan, dan serasa membuat putus asa, tapi itu yang harus dilalui. Tanpa semua orang tahu." Tiar masih menyimak setiap kata dari Alex.

"Kali ini aku mau jujur sama kamu, kamu tahu apa yang di katakan bos besar kita?" Tiar menggeleng. "Dia meragukan kapasitasku sebagai BM. Lalu dia memberi pilihan. Perbaikan dalam tiga bulan, atau PHK sebagian karyawan." Mata Tiar sukses membola mendengar penjelasan Alex.

"Dua - duanya adalah pilihan yang sulit, mengingat saingan antar cabang sangat ketat. Dan juga harus diimbangi potensi pasar. Kalau cabang kita diadu dengan cabang yang menduduki peringkat satu, jangankan itu, dengan yang peringkat tiga aja hasilnya tetap kalah, karena potensi mereka lebih besar. Jumlah penduduk lebih padat, luas area juga kita kalah jauh. Saya sudah kumpulkan semua data itu." Tiar menelan ludah. Bos yang dia maki - maki selama ini ternyata berjuang sampai seperti ini. Tiar menarik Alex yang sudah meletakkan kepalanya di sandaran sofa untuk merebahkan badan di pangkuannya.

"Kenaikan omset kita sudah luar biasa. Dan untuk konsumsi obat disini sangat maksimal. Kamu tahukan, bahkan kita merajai wilayah ini." Tiar mengusap dahi Alex dan memainkan rambutnya. Alex memejamkan mata.

"Dan untuk pilihan kedua, bagaimana bisa aku memecat orang yang sudah berjuang mati - matian bersamaku."

Alex menatap langit - langit ruang tengah Tiar sambil menghembuskan nafasnya. "Tapi kamu luar biasa, bisa bertahan selama ini dengan sikapku yang seperti ini." Alex memegang tangan Tiar yang membelainya, dia bangun dan menopang tubuhnya yang setengah duduk dengan tangan yang lain. Dia berhadapan dengan Tiar, dan masih menggenggam tangan mungil itu.

"Kamu luar biasa..." Alex menatapnya lekat, "Aku sangat mencintaimu. Apapun yang terjadi Tiar, berjanjilan untuk tetap disampingku." Tiar mengangguk, dalam hati dia berharap agar Alex tidak mendengar degup jantungnya yang sudah tidak teratur.

"Dan apapun yang terjadi besok, tetaplah bersandar di bahuku." Wajah Alex mendekat, menyatukan bibir mereka dalam ciuman yang lembut. Mata Tiar melebar ketika merasakan lidah Alex yang menyusup masuk ke mulut Tiar. Menggelitik, dan bermain - main disana. Nafas keduanya memburu. "Lex," Tiar tidak bisa bernafas.

Alex melepaskan ciumannya. Tetapi tidak berhenti disitu, mulutnya menjelajahi setiap lekuk leher Tiar dan menghisapnya. "Lex," tangan Tiar mencengkeram erat kemeja Alex di tengah nafasnya yang memburu. Dan Alex menyusupkan kepalanya di bahu Tiar. Dia berhenti disana, menyandarkan kepalanya sambil memeluk erat pinggang kekasihnya. Tiar masih gelagapan mendapat serangan mendadak dari Alex.

Perlahan tangan Tiar membalas pelukan Alex. "Aku akan selalu disisi kamu." Dan dia menyandarkan kepalanya di bahu Alex ketika lelaki itu sudah duduk dengan benar. Alex menggenggam erat tangan gadisnya.

"Makasih sayang." Dia mendaratkan sebuah kecupan di puncak kepala Tiar.

_____________________________________

Sekian, salam sayang

Jangan lupa vote and coment ya

Resolusi Love  (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang