Memimpin itu butuh keberanian. Memimpin itu tidak hanya sekedar memerintah. Karena pemimpin itu bukan seperti raja, melainkan seperti budak.
Bagi Alex menjadi pemimpin itu harus bisa berkarya bagaikan Tuhan, memerintah bagaikan raja, dan berkerja bagaikan budak.
Tiga kriteria itu yang sedang dia lakukan untuk menjaga keseimbangan di kantornya. Untuk seluruh orang yang bergantung padanya. Dia tidak peduli akan kata orang. Dia menebalkan telinga ketika semua orang membicarakannya. Karena kenyataannya menjadi nahkoda tidak semudah mengendarai sepeda motor.
Alex masih memandang laporan yang diberikan Mrs. Prayoga kepadanya. Tekadnya sudah bulat untuk mengusut masalahnya sampai tuntas. Setelah itu, semua dia serahkan kepada atasannya. Setidaknya Alex sudah melakukan porsinya dengan benar.
***
"May, lo lihat flashdisk gue nggak?" Mbak Rena masih mengubrak - abrik laci mejanya mencari benda kecil penyelamat nyawa mereka.
"Nggak tahu mbak." Memang Maya tidak pernah melihat flashdisk tergeletak. "Warnanya apa?"
"Hijau muda. Kecil banget sih." Maya menggeleng sekali lagi.
"Bisa gila ini, semua penawaran produk ada di sana, May. Gimana donk?"
"Nggak ada salinannya?"
"Ga punya."
"Di draf email?"
"Ga nyimpen."
"Duh, gue nggak tahu Mbak.""Hai," Sinta masuk dengan senyum ceria.
"Sin, lihat flashdisk gue nggak?"
"Nggak tau Mbak."
"Mampus deh gue, masak ngulang lagi." Rena memikirkan kemungkinan terburuknya. Yaitu David menjemput paksa dirinya karena suaminya itu tidak suka kalau dia sambil lembur."Nyari apa sih?" Tiar masuk dengan setumpuk berkas di tangannya dan dia taruh semua file itu di atas meja kerjanya.
"Flashdisk. Elo lihat nggak?" Maya menjawab sambil menatap layar komputernya.
"Nggak tahu gue." Tiar sudah tenggelam dengan kesibukannya sendiri.Ponsel Tiar menyala ketika dia masih sibuk dengan pekerjaannya.
Alex : nanti makan siang bareng ya?
Tiar : iya..
Dan mereka yang ada di ruangan itu sudah sibuk dengan job masing - masing.
"Tiar." Tiar menoleh melihat Maya.
"Apa?"
"Elo tahu di kantor ini ada apa?"
"Gue nggak tahu." Tiar menggedikkan bahunya.
"Yakin? Alex nggak cerita sama elo?"
"Gue nggak nanya." Tiar nyengir melihat Maya tidak mempercayainya.
"Gue kalo lagi sama Alex, nggak pernah maksa dia buat cerita segala sesuatu tentang kantor, May. Kalau bukan porsi gue, biar itu menjadi rahasianya. Gue nggak keberatan sama sekali kalau Alex diam. Secara gue siapa di sini?" Tiar melanjutkan kata - katanya setelah menghembuskan nafas."Elo semua pasti mengira Alex udah bocorkan? Gila aja lu. Gue nggak seperti itu."
"Nggak nyangka, sobat gue bisa dewasa juga."
"Anjirrr lo." Tiar melempar kertas ke muka Maya.
"Tapi gue salut sama cowok lo. Serius ini, dia tetap membela kita mati - matian pas meeting kemarin. Dan itu nggak gampang. Butuh keberanian ekstra. Apalagi yang dihadapi bos besar." Tiar menyimak setiap kata dari Maya. Secara tidak langsung dia baru menyadari satu lagi kehebatan Alex.
"Yah, meskipun habis itu kita dimaki - maki sama Alex."
"Hehehehe,, kalau yang itu udah biasa kan?"
"Berarti elo juga harus membiasakan diri."
"Untuk apa?" Tiar bingung dengan ucapan Maya.
"Ya dibiasainlah, ntar kalo lo nikah sama dia, bakalan tiap hari denger omelan dari dia."
"Ngaco lo. Kalo galak - galak gue ogah."
"Ati - ati kalo ngomong. Kesamber orang nyesel lo."
Tiar tersenyum kecut meladeni Maya.***
"Mau makan dimana?" Alex bertanya ketika Tiar sudah duduk di mobilnya.
"Ngikut. Kamu pengen apa?" Tiar kembali melempar pertanyaan Alex.
"Duh, bingung kalau gini." Alex menyalakan mesin mobilnya dan berjalan keluar kantor.
"Kamu sering makan dimana?" Tiar juga penasaran, dimana selama ini Alex mengisi perut.
"Di warung." Tiar mendecak mendengar jawaban Alex.
"Ya maksudnya warung apa? Tempatnya dimana?"
"Depan gang situ, sayang."
"Ya udah kita kesana."
"Kamu yakin? Doyan?"
"Memangnya kenapa, tunggu, menunya apa?" Tiar menatap curiga.
"Parno banget sih. Nasi sayur biasa, tapi lebih komplit. Seperti rumah makan padang, tapi masakan jawanya juga ada." Alex menoleh kepada gadisnya yang sedang menyimak.
"Mau?" Tanya Alex sekali lagi. Tiar mengangguk setuju.Kadang obrolan kecil seperti itu sudah bisa mengubah suasana hati Alex. Begitu juga Tiar, selama mereka masih bersama, beban kerja yang menggila lenyap sudah dari pikirannya.
Karena kita akan merasa bahagia ketika bersama dengan orang yang kita sayangi. Segala masalah akan terlupakan, dan mereka bilang dunia serasa milik berdua....
Wow, hebat sekali pengaruh dari sebuah perasaan bernama cinta.
Tiar dan Alex duduk di meja dekat dengan jendela. Rumah makan itu cukup sederhana. Bukan restoran mewah seperti yang kalian pikir.
"Tahu tempat ini darimana?" Tiar masih memandang sekelilingnya.
"Radit."
"Oooo sering ketemu ya?"
"Kenapa? Nyariin? Kangen?" Tiar menatap bingung mendengar perkataan Alex. "Tuh orangnya datang." Tiar menoleh ke tempat yang di tunjuk Alex. Dan benar, Radit melangkah masuk."Iya kangen." Tiar tersenyum melihat perubahan raut wajah Alex.
"Kalau seperti ini yang ganjen siapa coba?" Alex berbicara sendiri.
"Enak aja, aku dibilang ganjen." Tiar menyendokkan nasi ke mulut Alex yang duduk di sebelah kirinya."Ekhemmm." Radit sudah sampai di depan sepasang kekasih itu.
"Mesra amat, pakai suap - suapan segala." Mereka menoleh melihat Radit sudah di depan mereka.
"Duduk bro." Alex menunjuk kursi di depannya.
"Boleh nih gabung?"
"Santai man, sejak kapan lo sungkan sama gue."Radit menarik kursi di depan Alex kemudian duduk disana. "Apa kabar Tiar?"
"Sehat." Jawab Tiar singkat karena mulutnya masih berisi makanan.
"Gimana kabar lo sama Stefani? Katanya mau nikah tahun ini?" Alex menatap sahabatnya sebelum menyendok lagi makanannya."Siapa Stefani? Kenalin donk kak."
"Boleh nih manggil gue kakak?"Radit apa - apaan sih. Pakai nanya Alex segala.
"Asal nggak manggil sayang, apapun juga boleh." Radit terkekeh pelan.
"Stefani itu, mantan gebetannya Alex."
"Ekhemm." Alex mengambil minumannya dan meneguknya. Dia melihat mata Tiar membola.
"Oya? Pernah pacaran?"
"Nggak, dia cuma berani lihatin doank. Cuma kamu pacar sahnya Alex."
"Terus di tikung sama elo kak?"
"Orang dia juga nikung gue."Nikung pala lo?
"Hemmm?" Tiar menoleh kepada pacarnya yang sejak tadi sibuk dengan ponselnya.
"Kenapa? Ya gitu resiko pacaran sama bos. Kalah sama hp."
Tiar tertawa pelan. "Biarinlah, kalian tuh nggak pernah akur ya?""Siapa bilang? Kita akur kok. Ya kan, Lex?" Buju buneng gue dikacangin. "Woi."
Alex mendongak menatap sebal sama Radit. "Elo tuh, ganggu aja."Tiar sedari tadi memperhatikan dua lelaki di depannya. Keduanya nggak pantas menjadi branch manager. Kelakuannya masih seperti anak abg. Asal kalian tahu, Alex dan Radit itu mempunyai posisi yang sama. Bedanya Radit memegang cabang perusahaan ayahnya sendiri. Jadi meskipun posisinya masih branch manager, secara tidak langsung dialah bosnya.
"Kamu ngapain sih?" Tiar ikut penasaran dengan aktivitas pacarnya. Tiar menengok layar ponsel Alex.
"Ya Tuhan, Lex. Mobile legend?" Tiar nggak habis pikir, bisa - bisanya Alex kecanduan game online."Tuhkan, itu sisi lain pacar lo, Tiar. Umur udah kepala tiga tapi masih seneng main game." Alex tidak menghiraukan omongan Radit. Kapanlagi dia bisa bersikap sesantai ini selain di depan pacar dan sahabatnya sendiri.
"Terserah apa kata kalian. Cuma disini gue bisa santai. Gue juga manusia. Dan ini sisi kemanusiaan gue."
"Kemanusiaan apanya?" Tiar mendengus mendengar pembelaan Alex.
______________________________________
KAMU SEDANG MEMBACA
Resolusi Love (Tamat)
RomanceRank#2 komedi 27/02/2019 Rank #3 komedi 01/03/2019 until 26/03/2019 Rank #4 bos (23/07/2018) Bos gue galak, kaku, nyeremin, seenak jidat. Tetapi selama temen - temen somplak itu masih bertahan satu kantor sama gue, mudah - mudahan gue masih betah. ...