10. Lunch para jomblo

13.4K 1K 5
                                    

"Lo kemarin di ajak kemana sama si bos?" Tembak Maya begitu kami duduk di sebuah rumah makan.
"Meeting. Tanya Tomcat tuh." Tiar menunjuk Tomas dengan dagu.
"Oooo gue kira akal - akalan bos aja ngajak lo keluar."
"Sembarangan. Amit - amit deh." Tiar ngeles sambil memasukkan kwetiauw ke dalam mulutnya.

"Sejak kapan lo bisa deket sama si bos gitu?" Pertanyaan Tomas kali ini membuat para jomblowati menajamkan pendengarannya. "Deket darimana?" Tiar mencoba berkilah dari pertanyaan Tomas yang penuh selidik.

"Si bos juga jarang marah sama Mbak Tiar." Sinta mendukung Tomas. Tiar menggembungkan mulutnya. Malas menanggapi mereka. Dan juga malas menjadi bahan gosip.

"Nih ya, kemarin habis meeting,..." kata - kata Tomas sengaja di buat menggantung. Ngeselin tuh orang.
"Lo niat cerita nggak?" Sambar Mbak Rena.
"Ok.ok. gue lanjutin. Jadi waktu gue lunch kemarin, ada kejadian sweeeeeettt banget." Tiar melotot kepada Tomas.
"Maksudnya apa nih?" Tiar mulai curiga. Temennya yang satu ini hobby banget menebar sesuatu yang menimbulkan huru - hara.

"Kemarin temen gue keselek sampai mukanya seperti kepiting rebus. Lalu, bisa - bisanya si bos nyodorin air mineral ke dia. Di bukain pula." Ini nih yang namanya mengibarkan bendera perang.
"Bukannya lo juga di kasih minum sama Pak Hendra?" Tiar mencoba  mengingatkan, siapa tahu Tomas lupa.
"Tapi kan nggak di bukain."
"Najis...."

"Beneran Tiar?" Mata Maya melihat Tiar seolah tidak percaya.
"Beneran. Masa gue bohong. Alex ngasih dia. Amazing kan?" Tomas bicara seenaknya lagi.

"Kalau ternyata Alex suka sama elo gimana?" Mbak Rena bertanya serius.
"Gue takut sama mbak sekretaris. Amit - amit deh." Kata Tiar sambil memasang mimik jijik. Bukan untuk Alex, tapi Citra.
Mereka malah tertawa kecuali Tiar.
"Mungkin memang dasarnya orang baik. Jadi responnya seperti itu melihat orang menderita." Baru kali ini Tiar membela bosnya yang paling galak sedunia.
"Baiknya sama elo doank." Maya menekankan setiap kata - katanya.
"Kemarin gue lihat anak baru di gudang sampai nangis di marahin si bos."

"Lagian, umur segitu belum juga punya pacar. Coba kalau punya, pasti lebih murah hati deh."
"Setuju Sin sama elo." Ucap Tomas plus senyum setannya.

"Tua banget ya Mbak Ren? Umur berapa si bos?"
"Nggak tua - tua amat sih, kalo ngak tiga ya empat tahun di atas gue."
"Oooo three on three donk umurnya." Kata maya sambil menggerak - gerakan alisnya.
"Lo kira basket?"
"Idih Tiar nggak terima, masih cocok tuh sama elo." Mbak Rena mencibir.

"Ogah, eh, kayaknya cuma Mbak Rena nih yang ada progres." Tiar mengalihkan pembicaraan. Biar nggak bos melulu yang jadi bahan pembicaraan.
Dan Rena nyengir menanggapi Tiar.
"Siapa orangnya?" Tanya Tomas dan Maya bersamaan.
"Tunggu tanggal mainnya."
"Sok misterius." Gantian Tiar dan Tomas yang kompak.

***

Jam delapan malam, Tiar masih berkutat di depan layar komputer. Kerjaan sudah selesai sejak beberapa menit yang lalu. Dia mengutak - atik ponselnya sambil sesekali melihat keluar jendela.

"Kok belum pulang?" Si bos tiba - tiba muncul di depan Tiar memutus lamunannya.
"Hujan bos." Kata Tiar sambil melihatnya sekilas demi alasan kesopanan. "Bos nggak pulang?" Tiar balik bertanya karena tidak ada tanda - tanda Alex akan meninggalkan tempat ini.

"Bagaimana saya bisa pulang kalau kamu masih kerja."
See? Sejak kapan? Enak banget kalau ngomong.
"Saya kan nggak kerja Pak. Tinggal nunggu taksi." Boro - boro taksi datang, sinyal saja dari tadi tidak ada. Efek cuaca buruk kali ya..
"Udah pesan?"
"Baru proses." Tiar memandangi hpnya yang buffering terus dari tadi.
"Kalo gitu bareng saya saja." Tiar menggeleng keras. "Nggak usah Pak, nanti merepotkan bapak." Tiar meletakkan ponselnya kemudian  mematikan komputer yang masih on.

Alex masuk lagi ke ruangannya setelah menerima telepon.

Yes. Tiar mempunyai kesempatan untuk keluar dan mencari taksi konvensional saja. Mudah - mudahan ada yang lewat. Hujan juga sudah lumayan reda. Tapi kepalanya terasa sangat berat dan tenggorokannya juga terasa panas.

Kenapa sih gue? Plis, sampai rumah dulu baru pingsan.

Alex keluar dari ruangannya ketika Tiar berdiri dari tempat duduknya. "Sudah dapat taksi?" Tanya Alex yang masih berdiri di depan pintu.
"Belum. Mau cari di luar saja." Tiar berjalan sedikit limbung. Alex menahan lengan Tiar agar gadis itu tidak jatuh. "Kamu baik - baik saja kan Tiar?" Tiar berusaha mengangguk. Bukan hanya kondisinya yang buruk, tapi penampilan bosnya dengan setelan jas navy yang sekarang terkesan hampir memeluknya juga membuatnya tambah pusing.

Tetapi badannya berkata lain. Tiar merasakan tangan Alex semakin erat memegangi kedua lengannya. "Tiar." Tiar masih bisa mendengar nada panik dalam suara Alex. Tetapi dia tidak bisa mempertahankan kesadarannya. Semuanya gelap.

Resolusi Love  (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang