Malam itu cenayang-cenayang merapalkan mantera. Sekumpulan orang turut dalam doa-doa yang gelap. Gemerincing tongkat mewarnai ritual. Salah seorang cenayang wanita menari-nari, membiarkan bayangan besarnya berputar di sekitaran api unggun. Saat itulah tutup peti batu mulai bergeser.
Dalam keadaan gelap gulita, dia bangkit berdiri. Rambut hitamnya tergerai kusut hingga mencapai tumit. Suasana tempat itu tidak berubah sejak dia memutuskan terlelap, berdiam dalam mimpi yang begitu sunyi dan panjang. Berdiam sejenak, kelopak mata yang telah tertutup hingga hampir delapan abad itu terangkat.
Warna ametis. Terang darinya memindai keadaan sekeliling. Dia mendongak, mempertajam inderanya yang lain dan tidak ingin terburu-buru memulai semuanya lagi. Telinganya yang sangat peka menangkap bunyi-bunyi berisik di luar sana. Apakah ada pesta yang diselenggarakan oleh sang Tuan Rumah?
Mengeratkan pinggiran jubah yang lusuh, dia menaiki satu per satu anak tangga. Telapak tangan yang berhiaskan kuku duri miliknya menempel pada satu-satunya akses keluar—dinding batu yang memisahkannya dengan dunia luar.
Semua orang yang mengikuti ritual terperanjat kaget saat sebongkah batu sekeras karang itu dihantam, terlempar lalu jatuh hingga tercerai berai. Mereka tercengang. Getar ketakutan menguasai orang-orang itu. Kegilaan lain muncul. Bukannya lari sejauh mungkin karena tanda bahaya yang mengancam, si Cenayang justru menyeringai lebar. Nafsu akan kekuatan memenuhi hatinya, mengalahkan rasa takut tadi.
"Legenda itu ternyata benar!" serunya begitu melihat sosok berjubah hitam bergerak mendekati mereka. "Wahai penguasa kegelapan! Dengarkanlah seru permohan kami! Berikan kami kekuatan untuk menghadapi penguasa yang tamak!!"
Penguasa? Matanya masih agak buram karena belum menyesuaikan diri sepenuhnya dengan kegelapan malam. Lidah api yang menjilat-jilat pun lumayan menyilaukan. Melihat meja persembahan, dan orang-orang berpakaian aneh.. mereka pastilah cenayang. Menyebut penguasa berarti, mereka menginginkan raja mereka untuk dilengserkan?
Katakanlah apa yang mereka ucapkan tadi benar. Lantas mereka sendiri akan mengelak disebut tamak?
Cenayang-cenayang itu memohon dalam deretan baris yang lama-lama membuatnya muak. Dalam keremangan itu, matanya menghitung jumlah peserta ritual. Tiba-tiba dia merasakan lapar. Walaupun bukan yang terbaik, mereka akan cukup memuaskannya yang telah melalui tidur panjang.
Langkahnya mendekat. Terus mendekat, sampai bisa melihat tiap titik terkecil pada garis wajah cenayang yang berdiri paling depan. Dia tergugu-gugu. Kakinya agak gemetaran, diperparah dengan lidahnya yang kaku. Ekspresi yang sungguh biasa ditampakkan oleh orang-orang yang melihat sosok gelap itu untuk yang pertama kali.
Beruntung kali ini dia tidak perlu berburu.
Makanan apa pun akan terasa lezat untuk seseorang yang amat kelaparan.
***
Tidak sulit melacak keluarga yang telah menjadi abdinya meski beratus-ratus tahun telah terlewat. Mereka memiliki aroma yang familiar. Setelah memberikan dua ketukan pada pintu sebuah kastil tua itu, seorang wanita menyambutnya—sepertinya seorang pelayan. Kontan mulutnya menjerit melengking, mengalahkan suara deru hujan di luar. Tuan rumah kemudian menghampiri dan tercengang melihat seseorang dengan manik ametis itu berdiri di hadapannya.
Kepala keluarga Morgen adalah seorang pria awal empat puluhan tahun. Namanya Stover. Istrinya baru saja meninggal sebulan lalu karena sakit. Dia hanya punya seorang putra berumur lima belas tahun yang tengah terlelap pada larut malam begini.
"Jadi kakek dan ayahmu menceritakan dongeng yang sama tentangku."
"Benar, tuan." Stover membenarkan. Rasa gelisah terpancar jelas dari wajahnya yang mulai banjir keringat dingin. Pria itu ketakutan. Dia pasti tidak menyangka dongeng pengantar tidur yang diberikan kakek dan ayahnya ternyata adalah benar kenyataan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cassiopeia
FantasyStatus: COMPLETED Gadis itu selalu hadir tiap para bangsawan yang kotor menanti giliran mereka--di hadapan guillotine, disaksikan kerumunan yang menyemut. Betapa dia ditakuti sebagai malaikat pencabut nyawa, dengan kewenangan penuh yang diberikan sa...