35. The Fourth Person

4.9K 679 135
                                    

Cermin memantulkan sosoknya. Sementara Susa tegak bergeming, beberapa dayang sekaligus memasangkan berlapis-lapis pakaian ke tubuhnya. Sesekali Susa melirik manekin tanpa kepala di samping. Pakaian perang terpampang di sana, berbalut besi dan kulit yang akan bertahan bila dihunjam tombak sekaligus.

Baru kali ini dalam sejarah Bethratèn, otak yang membawahi panglima, jenderal dan komandan-komandan resimen pasukan adalah seorang perempuan. Terlebih dia belum genap dua puluh tahun.

Saat tangan seorang dayang mencoba mengencangkan ikat pada pinggang, Susa mendesis menahan perut.

"Biarkan agak longgar," suruhnya pelan. Si Dayang langsung menunduk patuh.

Selesai dengan pakaiannya, Susa berbalik. Dengan langkah yang mantap, dia menghampiri dayang yang berlutut membawakan pedangnya. Susa mengambil pedang itu kemudian memasangkannya ke pinggul kiri.

"Kau tidak harus pergi ke sana, Susa. Cukup memantaunya dari sini saja. Aku bisa mengirimkan kabar lewat elangku." Untuk kesekian kalinya Vonn mencoba menghentikan gadis itu, dan lagi-lagi dia harus menerima penolakan.

Susa tidak mendengarkan apa pun. Kecuali hari-hari sebelumnya di mana dia menurut tanpa banyak berkomentar saat Vonn memintanya pergi tidur atau makan. Boneka penurut itu sudah kembali ke bentuk aslinya—batu karang yang tidak goyah. Sungguh menakjubkan melihat efek dari tekadnya menghentikan fase kesedihan. Kekhawatiran Vonn tidak terbukti. Gadis itu terlihat sedang dalam kondisi prima.

Walaupun hanya gadis itu yang tahu, dia juga tengah berada dalam keadaan yang paling rentan.

"Jantung anda bekerja dengan tidak semestinya, Nona Llaner. Berat untuk mengatakan ini secara langsung pada anda ... tapi kita harus bersiap untuk kemungkinan terburuk."

Ucapan tabib terngiang berulang-ulang di telinga Susa. Saat dia bertanya lagi siapa yang mengetahuinya, sang Tabib menyebut Vonn. Susa pun tersenyum samar mengetahui alasan kenapa laki-laki itu menjadi jauh lebih cerewet daripada biasanya. Vonn tahu, tapi dia tidak menyarankan hal yang sama. Karena sama seperti Susa yang menghafali tabiat Vonn, Vonn pun mengenal Susa dengan baik.

Gadis itu tidak perlu mengorbankan nyawa siapa pun untuk menyelamatkan diri. Tidak lagi.

"Tinggalkan Telupu di manor," perintah Susa yang melihat tupai itu masih bertengger manis di bahu Vonn. Belakangan kerekatan Vonn dan Telupu menyerupai induk dan anak ayam.

"Percayalah, aku juga mau begitu," balas Vonn. "Tapi kalau aku mencoba menurunkannya, dia akan menggigitku."

Susa mengatupkan bibir. Ditatapnya mata merah muda Telupu yang juga menumbuk padanya. Saat Susa mengulurkan tangan, hewan mungil itu tanpa ragu berpindah. Ekornya yang halus dan tebal melingkar di leher Susa seperti syal. Kali ini dia tidak ingin lepas dari Susa.

Akhirnya tanpa menunggu lagi, rombongan mereka segera berangkat ke perkemahan pemantau perang, menanti serangan besar dari Denior.

***

Corinth melihat seluruhnya, di mana pulasan warna merah menghiasi langit timur, sampai pada matahari tenggelam di sudut yang lain. Hampir dia tidak beranjak dari tempatnya berdiri kecuali demi mengisap habis air merah yang kental dari perempuan-perempuan yang bahkan tidak dia ketahui namanya.

Noda darah masih menempel lekat di dagu, namun laki-laki itu enggan menyeka. Dahaganya belum terpuaskan. Mungkin tidak akan pernah. Selain bayangan Kisara yang menari-nari dalam awang-awangnya kini, telinga Corinth tidak bisa mengenyahkan satu suara. Bukan lagi panggilan merdu dari Kisara—melainkan Susa.

Kenapa? Setelah mengetahui bila Corinth terlambat sedari awal, seharusnya dia lebih dari mampu membenci gadis itu. Kenapa alih-alih Kisara, gadis itulah yang bertahan? Kenapa Corinth harus menemukannya lebih dulu dibanding Kisara yang terlahir kembali? Kenapa seolah-olah batinnya ingin mati-matian menyangkal kalau gadis itulah yang punya andil besar dalam kematian reinkarnasi Kisara?

CassiopeiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang