41. Cassiopeia

8.7K 809 49
                                    

Tubuhnya serasa bukan miliknya lagi. Letih merasuk menguasai hampir semua jalinan otot dan pembuluh darah. Sesaat setelah dayang terakhir telah selesai merapikan selimut lalu pergi, Susa justru terjaga. Pikirannya mengawang. Keberadaan sepasang bayi yang baru saja lahir dari rahimnya sama sekali tidak terlintas. Dia hanya teringat pada satu hal.

Susah payah mengumpulkan kekuatannya, Susa turun dari ranjang. Tubuhnya tidak bisa menegak dengan benar, jadi dia berjalan agak membungkuk, berpegang pada apa pun yang berada dalam jangkauan. Bayangannya lantas menumbuk di hadapan sebuah guci.

Susa mengambil benda itu sambil memeluknya erat.

Kayu dalam perapian baru saja ditambahkan, tapi kenapa hawa dingin menderanya begitu hebat?

"Dingin ..." Susa menggumam pelan. Ranjang melesak saat tubuhnya rebah menyamping dan melengkung. "Dingin, Corinth ..."

Dalam ingatannya, laki-laki dengan binar garnet ungunya yang indah itu akan memberikan dekapan yang lebih erat. Susa yang mungil akan tenggelam dalam naungan tubuhnya. Sampai kapan pun, memori itu akan tersimpan dan tidak pernah musnah. Kerinduan tumpah ruah. Berapa pun bulir air matanya menetes, tidak akan cukup mengobati kehilangannya.

Jerat sang vampir terlampau kuat, sejak pertama kali Susa menatap nyala ametis yang menyihir.

Tiba-tiba Susa merasa sangat mengantuk. Sementara guci itu berada dalam rengkuhan tangan dan perutnya, gadis itu perlahan-lahan terseret ... oleh kegelapan abadi.

***

"Susa?"

Bahkan sebelum telunjuknya menyentuh tangan itu, Vonn sudah lebih dulu tahu. Ujung jari yang memutih. Suhu yang beku. Perapian adalah satu-satunya sesuatu yang hangat di sana. Tidak. Bisa saja Vonn salah menduga. Gemetar, dia memberanikan diri menggenggam tangan itu kemudian meremasnya sedikit kuat.

"Susa? Bangun.."

Kegelisahan hinggap pada Vonn. Napasnya mendadak memburu. Berulang kali dia menelan ludah, menekan kepanikannya yang seakan-akan bisa meledak. Dia terus menatapi wajah Susa dengan mata yang masih memejam rapat. Tubuhnya sendiri agak menyorong maju, mencari-cari—sedikit saja—sisa-sisa yang masih bisa diselamatkan di sana.

Tapi nihil.

"Su-Susa, lihatlah, mereka ...," pinta Vonn lalu menatap bergantian pada si Kembar. Sang Bayi Perempuan tengah membuka matanya, sedangkan si Bayi Laki-laki terlelap. "Kau belum sempat melihat mereka ... memeluk pun tidak.."

Vonn mencoba berkompromi. Dia semakin meracau tidak jelas. Padahal yang dia lakukan sia-sia saja. Vonn mengomentari setiap detil dari fisik si Kembar. Segala hal dari mereka yang mirip dengan Susa akan dia paparkan panjang lebar. Celotehannya meluncur tanpa henti, tapi Susa tetap saja bergeming.

"Kau juga belum memberi mereka nama ... Aku- ... aku tidak pintar memberi nama. Kau sendiri tahu aku tidak suka membaca. Setidaknya, beri mereka nama, Susa—.. hanya dua nama saja ... Susa.."

Tangisnya semakin tidak terbendung. Dia sempat melihat pada Telupu yang tengah berdiri di samping bantal Susa. Namun si tupai hanya berdiam. Padahal biasanya, dia akan selalu menghampiri Susa dan mengibaskan ekornya yang lembut pada pipi gadis itu sehingga Susa merasa tergelitik lalu tertawa kecil.

Vonn tidak lagi meracau. Sebagai gantinya, laki-laki itu tersedu saat menarik Susa ke dalam pelukannya. Vonn tidak pernah memeluk Susa. Ini pertama sekaligus yang terakhir kalinya di mana dia bisa merasakan fisik gadis itu yang rentan tapi juga kuat di saat yang sama.

Tapi semuanya sirna tanpa sisa.

Diam-diam bergabung dengan sedu sedan tangis Vonn, Juda telah cukup lama berdiam di balik pintu kamar yang terbuka sedikit. Selama mendengar Vonn bicara, Juda menutup mata mendengarkan. Dan begitu Vonn tidak lagi meracau, dia lalu melangkah menuju balkon tengah istana yang paling luas. Kepalanya mendongak ke atas.

Kalau saja semuanya dapat diputar kembali ... Juda tidak akan membiarkan vampir berengsek itu mengubah segalanya. Sebelum dia ada, Susa adalah manusia yang berhati dingin dan keras. Arogansinya muncul di balik ketakutan dan kelemahan. Dan itulah yang membuat jiwa gadis itu amat sangat lezat kalau sudah saatnya tiba. Apa pun hasil akhirnya, Susa tidak diragukan lagi akan mengadakan kesepakatan baru dengan Juda. Roh gadis itu masih murni.

Ini adalah saat yang ditunggu-tunggu Juda. Tapi nyatanya, bukan sesuatu yang dikehendakinya juga.

Masih dalam diam, Juda mengulurkan telapak tangan. Setitik cahaya kecil yang berkilau melayang dan bertengger manis di sana. Di mata makhluk buas mana pun, jiwa itu merupakan makanan yang paling lezat yang pernah ada.

Juda mengambilnya tepat sebelum malaikat pencabut nyawa mengklaimnya.

"Lemah," ucap laki-laki itu. Satu-satunya kata yang dia berikan mewakili penyesalan dan kemarahannya. Sesuai perjanjian, Juda bisa melahap raga ataupun jiwa gadis itu. Namun yang selanjutnya terjadi adalah, laki-laki itu membiarkan cahaya inti jiwa itu melesat cepat ke langit. Tidak lepas pandangan Juda mengiringi gerak cahaya itu hingga bergabung dengan titik-titik lain yang tersebar di langit yang telah berubah biru.

Mereka tidak akan bisa melihatnya saat langit terang benderang. Berada pada langit yang kelam adalah hukuman Juda pada Susa ... sekaligus penghargaan laki-laki itu padanya.

.

.

.

"My only dream is about you and I."

.

.

.

TAMAT

CassiopeiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang