"Selamat pagi, nona," sambut seorang dayang yang masuk ke kamar Susa, mendapati gadis itu telah bangun. Ruang yang mulanya gelap, seketika terang benderang setelah dua belah tirai disibak.
Susa memaksakan diri menegakkan punggung. Ada yang aneh. Tubuhnya agak menggigil, namun napasnya terasa lebih panas dari biasanya. Oh, ayolah, pikirnya mengerang lalu mengambil sebuah cermin dari nakas. Rona wajahnya sepucat mayat.
"Anda kelihatan kurang sehat." Dayang tadi menghampirinya cemas lalu menempelkan telapak tangannya ke dahi Susa. "Demam. Sebaiknya anda lanjut tidur saja. Mau saya bawakan minuman hangat?"
"Ya, tolong." Susa hanya bisa pasrah. Sepertinya gara-gara semalam dia terjaga sampai sangat larut malam hingga angin dingin itu berpengaruh ke tubuhnya. Padahal hari ini seharusnya dia mengunjungi beberapa tempat untuk memeriksa hal-hal penting.
Kembali ke dalam naungan selimut, batin Susa sempat-sempatnya merutuki Corinth. Laki-laki sialan, gerutunya dalam hati. Bisa-bisanya dia mencium Susa. Dan jikalau yang sebelum ini bukan mimpi, Susa telah dua kali membiarkannya berlaku selancang itu. Mengesalkan. Sejak kapan Susa menjadi sebegini emosional?
Tapi rupanya menuruti keinginan tubuh untuk beristirahat bukanlah ide yang bagus. Selalu ada langit cerah yang mendahului badai ganas di lautan. Di tengah lelapnya, Susa terusik begitu mendengar derap langkah tergesa di luar. Pintu kamar itu langsung dibuka tanpa diketuk lebih dulu. Susa terperanjat. Mulutnya hampir mengumpat kalau saja si Dayang tidak segera memberitahu kedatangan seseorang beberapa saat lalu.
Nama yang disebutkannya membangkitkan kepanikan Susa. Cepat-cepat gadis itu bangkit dan segera menyambar jubah, bercermin sebentar untuk menyisir, kemudian segera keluar menuruni tangga. Kepanikannya makin menjadi mendapati tidak ada siapa pun di ruang tamu. Dia pun beralih mencari ke bagian lain. Suara jeritan Teiralah yang tak ayal membuatnya mempercepat lari.
"BUNUH TIKUS SIALAN ITU!!"
Jantung Susa berdetak lebih kencang. Detik yang sama, pikirannya langsung menyimpulkan satu hal. Teira berada di pekarangan samping!
Susa bersumpah napasnya sempat terputus melihat tangan kekar Horam yang membanting Telupu. Tupai itu berdecit kesakitan dan menggeliat tak berdaya. Horam mengambil belatinya, dan otak Susa seketika memerintahkan anggota geraknya yang lain menghalau laki-laki itu. Sedikit pun dia tidak memedulikan resikonya.
"Apa yang kau lakukan?" Teira mendatangi mereka berdua. Ekspresinya datar menyaksikan perbuatan heroik Susa. Dia berkacak pinggang—tidak tahu lagi harus marah pada siapa. "Yang benar saja, Susa. Ada pekerja khusus di istana untuk melenyapkan tikus, dan kau malah melindunginya seperti itu?"
"Dia bukan tikus ...," balas Susa pelan, nyaris seperti mencicit. Suaranya lemah karena napasnya yang sesak akibat berlari. Lebih-lebih luka menganga di lengannya yang berusaha ditekannya kuat-kuat. "Dia tupai peliharanku ..."
"Benarkah? Habisnya mirip sekali. Lagipula ini bukan salahku. Tupaimu itu dulu yang melukaiku. Lihat ini!" Teira mengacungkan telunjuknya pada Susa. "Aku berniat membicarakan sesuatu denganmu, tapi ini justru membuatku kesal. Lain kali kurung saja di gudang. Menjijikkan sekali."
Teira berdecap sekali kemudian melengos pergi diikuti Horam. Sementara itu, Susa menunduk meringis didera nyeri yang hebat. Beberapa dayang yang melihat kejadian tadi langsung berlari menolong. Darah tidak berhenti mengalir tidak peduli sebanyak apa pun mereka memasang pembalut sebagai tindakan pertama.
"Susa!" Teriakan Vonn dari kejauhan menyentak gadis itu. Susa menyuruhnya pergi ke perbatasan terjauh Bethratèn, sementara Juda di sisi sebaliknya. Seharusnya mereka memang kembali pagi ini. "Apa yang terjadi?"

KAMU SEDANG MEMBACA
Cassiopeia
FantasiStatus: COMPLETED Gadis itu selalu hadir tiap para bangsawan yang kotor menanti giliran mereka--di hadapan guillotine, disaksikan kerumunan yang menyemut. Betapa dia ditakuti sebagai malaikat pencabut nyawa, dengan kewenangan penuh yang diberikan sa...