Perasaannya kacau balau. Semuanya tumpah ruah tanpa bisa dibendung lagi. Degup jantungnya berdentang menyakitkan. Diam-diam Corinth kembali ke manor Morgen tanpa diketahui siapa pun. Dia menghampiri ruangan bawah tanah yang tidak pernah disentuhnya lagi semenjak dirinya melangkah begitu jauh demi menggenggam tangan Susa.
Corinth mendekati lukisan yang terpajang di sana. Satu lentera dinyalakan. Membisu, laki-laki itu menatap sosok Kisara yang seakan terlelap—hanya sehari sebelum pemakaman.
"Di manakah kau sekarang ...?" bisik Corinth nyaris tidak terdengar.
Mulanya Corinth pikir dia akan bisa melenyapkan mimpi buruknya. Kenangan lama akan terhapus, berganti dengan memori baru yang jauh lebih indah. Corinth sulit beradaptasi dengan karakter Susa yang dingin dan begitu keras hati. Sebab Kisara tidak akan pernah berlaku demikian. Dalam hati Corinth bersyukur Susa perlahan-lahan mencair. Rona kemerahannya hampir sama persis dengan yang dimiliki Kisara.
Mungkin bukan karena gadis itu mengubah sifatnya. Barulah Corinth sadar kalau justru dialah yang telah memahat Susa hingga sama seperti sosok Kisara yang dia ingat.
Semuanya adalah kepalsuan—sejak awal Corinth bertemu Susa pada malam pesta itu. Tidak pernah ada tempat di hatinya untuk seorang gadis bernama Susa. Sebab yang ada di pikiran Corinth hanya supaya gadis itu mati lalu terlahir lagi, mengembalikan separuh hatinya yang hilang.
Berhari-hari Corinth mendekam di sana. Duduk bersandar dan diam. Tidak melakukan apa-apa—bahkan tidur sekali pun. Sorotnya menerawang kosong, memindai wajah damai Kisara yang abadi menyiksanya.
Sebelum tenggelam dalam mimpi panjang, Corinth justru disadarkan oleh panggilan seseorang.
"Corinth."
Mata ametisnya membuka, tapi tidak menemukan siapa pun di sana. Anehnya suara yang memanggilnya semakin jelas. Seseorang melontarkannya berulang kali dengan nada yang berbeda. Pada panggilan terakhir, gadis itu jelas-jelas meneriakkan nama Corinth—memohon untuk diselamatkan.
Ternyata tidak ada seorang pun yang memanggilnya. Corinth berhalusinasi. Otaknya memutar ingatan yang ingin dia lupakan. Tanpa bisa dicegah, Corinth pun disergap oleh wajah kesakitan dan ketakutan Susa saat dia hampir menghunjamkan belati ke tubuh gadis itu.
Dia bukan Kisara, tapi kenapa batin Corinth begitu terusik? Hanya karena wajahnya yang mirip? Pasti begitu. Sudah tidak terhitung berapa kali Corinth membuat nyawa para perempuan melayang demi memuaskan dahaganya. Jumlahnya hanya bertambah satu lagi. Seharusnya itu bukan masalah besar.
Tapi gadis itu masih miliknya. Susa masih terikat pada Corinth.
Membiarkan hatinya mengeras, Corinth menemui Susa. Gadis itu rupanya telah kembali ke manornya. Dari luar jendela, Corinth melihat Susa yang berkutat tergesa mempelajari berkas-berkas yang berserak.
Corinth tidak ragu membuka kuncian jendela tanpa menyentuh. Angin dingin berhamburan masuk. Susa menoleh, dan Corinth menyadari gadis itu tercekat melihatnya. Dia melangkah mundur tapi menubruk meja di belakangnya. Corinth mendengarnya mengatakan sesuatu—tidak terlalu jelas. Tapi yang pasti Susa tidak menginginkannya mendekat.
Persetan.
Corinth butuh memastikan untuk tahu apa yang sebenarnya mengusik perasaannya.
"Kau masih istriku—milikku ... Kisara atau bukan, kau tetap milikku sampai ke titik penghabisan."
***
Fajar tiba. Tirai masih tertutup rapat. Di tengah remang-remang itu, dua tubuh masih terjalin pulas. Mereka bernaung di bawah selimut yang sama. Corinth terjaga lebih dulu, menatap Susa yang masih terlelap di hadapannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cassiopeia
FantasyStatus: COMPLETED Gadis itu selalu hadir tiap para bangsawan yang kotor menanti giliran mereka--di hadapan guillotine, disaksikan kerumunan yang menyemut. Betapa dia ditakuti sebagai malaikat pencabut nyawa, dengan kewenangan penuh yang diberikan sa...