12. Memory

787 34 0
                                    

Gadis yang di balut baju sekolah itu masih setia menunggu jemputan orang tuanya. Biasanya Pak Danang selalu menjemputnya, tapi karena ia mendapat libur dari Dimas, ayah Agatha, ia kembali ke kampung halamannya.

Agatha yang sedang tidak terlalu dekat dengan sahabat kecilnya, maka Alga dan Alta pulang bersama teman sekelasnya. Sedangkan Amal seperti biasa dijemput oleh Ayahnya.

Terkadang Agatha iri dengan Amal yang mempunyai ayah perhatian, sesibuk apapun ayahnya bekerja ia tidak pernah melupakan anaknya, berbeda dengan Agatha. Agatha berharap ia mempunyai kakak atau adik yang bisa menemaninya di rumah bersama Dewi, bundanya.

Agatha melirik ponselnya, sudah berapa kali Agatha menghubungi Dewi, tapi tidak ada satupun panggilan yang diangkatnya. Agatha cemas, tadi pagi sebelum Agatha berangkat sekolah, Dewi sedang tidak enak badan.

Bahkan Bundanya itu tidak mengambil cuti pekerjaannya. Ia bersi keras berangkat dan mengantar Agatha.

"Bunda." Gumamnya.

Ponsel Agatha berdering, pun segera diangkat. Terdengar suara berisik saat sebelum orang yang menelfonnya bukan Bundanya, tapi pihak rumah sakit yang menyatakan jika Dewi kecelakaan.

Agatha meluruh, seluruh tubuhnya lemas. Setetes bening mengalir lancar di pipi halusnya. Ia tak menyangka jika hal itu terjadi. Jantungnya berdetak kencang, melebihi dulu saat Alga memutuskannya.

"Bunda."

Agatha bangkit mencari bus atau taksi atau angkot sekalipun, asalkan dia bisa menemui Dewi. Suara deru motor terdengar tak jauh dari pendengaran Agatha. Gadis itu berbalik, lalu menghentikan motor itu. Dari seragam yang dikenakan anak itu, Agatha tau dia dari SMA sebelah.

Selanjutnya Agatha menaiki motor itu, tentu saja pemilik motor itu terbengong dengan gadis di belakang yang meminta untuk ke rumah sakit terdekat dari sekolahnya, dimana Bundanya dibawa.

Tak memperdulikan orang yang diboncengi itu baik atau tidak. Pun orang itu melajukan motornya mengantar Agatha.

Setelah sampai, dengan langkah terburu-buru gadis itu mengucapkan terimakasih saat ia hendak memasuki gedung rumah sakit. Tanpa Agatha tahu jika bandul kunci tas pemberian Dimas terjatuh, pemberian waktu ia masih duduk di bangku sekolah dasar sebelum Dimas sibuk.

Tangan kekar itu mengambilnya, bandul kunci dengan nama Agatha. Senyum itu terukir, entah kenapa jantung cowok itu berdetak. Merasa benda itu mungkin berharga bagi gadis yang terlihat lebih muda darinya, ia memasukkan benda itu ke kantong jaketnya. Dan melaju pesat membelah padatnya kota Jakarta.

Keesokan harinya ia datang ke tempat awal pertemuannya dengan Agatha, di halte depan SMA Cendrawasih yang kemungkinan jika gadis itu sekolah disana. Tadi malam sebelum ia mengembalikannya cowok itu sempat membuka bandul kunci itu karena bandul yang terlihat sederhana ternyata memiliki benda ruang di dalamnya. Terpapar nama Dimas, Agatha dan Dewi dengan huruf latin kecil.

Cowok itu membukanya lagi, ia merasa bersalah jika belum mengembalikan bandul itu. Ia yakin gadis itu pasti mencarinya sampai saat ini, selama tiga bulan setelah kejadian itu, yang sekarang menyebabkan Gilang harus menunggu gadis bernama Agatha itu pulang lalu mengembalikan bandulnya.

Seorang satpam menghampirinya, "Masih cari Agatha mas?" Gilang mengangguk.

"Disini yang namanya Agatha ada dua." Sudah berkali-kali satpam itu berkata seperti itu. Gilang menghembuskan nafas, ia tidak tau nama panjang gadis itu.

Beberapa menit setelahnya, satpam itu menunjuk gadis dengan nama Agata. "Itu mba Agata yang mas maksud?"

Gilang menggeleng, ia berfikiran jika Agatha yang ia cari sudah pulang lebih awal atau gadis itu tidak sekolah disini. Lalu Gilang berpamitan.

AgathaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang