"Loh? Siapa kamu?"
Setengah mampus jaga raut wajah supaya tetap tenang, daun pintu kos Jungkook juga basah karena keringat yang asalnya dari tangan.
Seberandal apa pun Taehyung, kalau lagi serius otomatis grogi bakal jadi satu paket.
Senyum lebar dan berusaha acuh sama anomali jantung, "Bundanya Jungkook?"
Wanita yang berumur sekitar kepala lima angguk pelan tapi matanya tetap tatap Taehyung waspada.
Ya, Taehyung itu asing.
Ini kacau, Taehyung yang berlaga polos aja justru ditatap tajam persis seolah tatap maling,
lho, gimana kalau calon mertua tau dia udah kotori anaknya pakai sperma?
Serius, ini masalah.
"Saya Taehyung Pratama, temen Jungkook."
Temen hidup, begitu bilang dalam hati. Beralih ulur dan raih tangan kasar calon mertua kemudian dicium punggungnya.
Oke, cium tangan sama calon mertua, selesai.
Karena demi Tuhan, Jungkook bilang Bunda nya itu gila tatakrama, harus sopan kalau mau dapat atensinya.
"Anak saya mana? Kenapa kamu disini?"
"Jungkook sakit, Bun—ah, maksud saya, Jungkook sakit, Bu."
Bundanya Jungkook tatap Taehyung selidik, matanya tajam. Jelas sekali aura galak muncul di sekitaran wanita di depannya.
Oh, bahkan sekarang Taehyung tau dari mana gen galak pacarnya berasal.
"Minggir, dong. Saya mau masuk."
Taehyung kelabakan, kontan minggir dan kasih gestur 'silakan masuk'. Sialan, tau bukan calon mertua, Taehyung ngga akan mau diperlakuin setunduk ini.
Setelahnya, Taehyung ikut masuk. Ekori Bunda Jungkook dan beralih tatap pacar yang mulai aktingnya.
"Sakit apa kamu? Muka merah, keringetan... kamu demam?"
Beralih usap keringat di dahi Jungkook, tentuin suhu badan anaknya lewat telapak tangan. "...tapi lho ngga panas?"
Buru buru, Taehyung nengahi. "Ah, demam dari siang, bu. Sekarang udah lumayan turun."
Jungkook senyum ke Bunda, beralih eratin pegangan di ujung selimut yang sentuh dagunya.
"Kalo udah turun mending lepas aja selimutnya, emang ngga gerah?"
Berakhir rebutan selimut. Jungkook yang berusaha tahan selimut supaya tetap tutup area leher sampai ke bawah, dan Bundanya yang mau Jungkook lepas selimutnya.
Demi Tuhan, Jungkook telanjang dan area leher sampai pinggul banyak sekali bercak merah jejak ciuman Taehyung.
"Dingin, bun. Serius." rengek Jungkook, kontan buat Bundanya diam.
Karena di dua tahun terakhir, Jungkook belum pernah rengek kaya gini.
Bunda Jungkook pikir, anaknya betulan sakit. Berakhir usak rambut anak semata wayang sayang dan kecup kening, dan tanpa Jungkook duga, sosok Bunda justru peluk dia.
Berani sumpah, Jungkook ngga rasain apa itu hangat keluarga bahkan disaat Bundanya cium keningnya atau sekarang, waktu Bunda peluk dia.
Tembok jarak yang dibangun tanpa sadar sekarang betulan terasa, Jungkook bahkan seolah ngga kenal siapa wanita yang peluk dia sekarang.
Kangen, jelas. Tapi setiap Bunda muncul, Jungkook beralih ngga suka. Sakit hatinya muncul, itu selalu.
Matanya memerah, tatap Taehyung pakai mata berkabut. Otaknya putar kembali dimana masa Bundanya kurang peduli, kerjanya penting karena fokus kasih makan Jungkook dan biaya kuliah yang ngga sedikit.
Jungkook ngerti, tapi ngga ada ucapan selamat atau setangkai bunga sebagai ucapan secara ngga lisan sebagai penyambutan lulusnya Jungkook di hari itu, Jungkook menolak paham.
Bundanya ngga datang, dan pekerjaannya yang buat Jungkook ngga mau paham kalau Bundanya kerja buat dia.
Sampai sekarang pun, begitu.
Lihat Jungkook yang tahan nangis, buat Taehyung bingung gimana harus bersikap.
Karena, Taehyung paham rasanya didatangi seseorang yang dulu sedekat nadi tapi justru berubah sejauh matahari. Taehyung terlalu paham.
"Bu, Jungkook mau—"
"Iya, saya udah selesai, kok." katanya, dan pelukan di lepas, lihat Jungkook pakai tatapan rindu dan sedih secara bersamaan.
Usapan di pipinya yang lengket karena keringat buat Jungkook diam, usaha luat biasa buat ngga jatuhin air matanya.
"Cepet sembuh, nak. Bunda pulang."
Secepat itu. Dan Bundanya berdiri, datangi Taehyung di pintu yang bediri pakai bokser hitam dan kaos oblong punya Jungkook sambil tutupi daerah selangkangan.
"Makasih."
Dan satu amplop tebal berisi uang Taehyung terima, tatap bingung ke arah wanita yang justru senyum teduh. "Jungkook ngga bakal terima kalo saya kasih langsung, biasanya saya kirim, tolong kasih ke dia."
Beralih Taehyung yang lepas tutupi selangkangan dan terima uang, Bundanya keluar dan tutup pintu kamar kos Jungkook pelan.
"Jung?" katanya lingkung sambil angkat amplop uang, beralih dekati pacar dan duduk di tepi ranjang. Selangkangannya masih menggembung omong omong.
Ngga ada dua detik, dan Jungkook langsung peluk Taehyung.
"Gue ngga suka."
Amplop uang taruh di nakas, beralih peluk kesayangan dan taruh dagu di pucuk kepala. "Hm? Di bagian?"
"Bersikap seolah gue sama dia deket. Persetan sama uang, gue ngga butuh deket sama benda mati, gue butuh deket sama orang tua."
Di balik pintu, Bundanya dengar.
"—bunda yang bikin gue terbiasa hidup tanpa sosok ibu, dan sekarang dia kesini khawatir seolah dia udah jadi ibu yang baik buat anaknya. Sakit hati gue ngga sesederhana itu, Taehyung."
Bundanya yang dengar dari luar paham semuanya.
Mulai dari Taehyung, ranjang berantakan, bau sperma dan selangkangan teman anaknya yang menggembung.
Bundanya paham betul anaknya rusak, dan keluarga jadi faktor utama. Ngga ada yang bisa disalahkan.
Begitu, sedikit banyak dia terimakasih sama Taehyung karena bisa dijadiin jembatan buat kasih uang ke anaknya.
Tapi susah sekali, terima kenyataan kalau anak semata wayangnya melenceng dan pasti ngga akan punya keturunan, bundanya terpukul.
Sama semua kenyataan. Sama kegagalannya jadi seorang ibu buat Jungkooknya.
[ Rυѕaĸ ]
dangdut banget maapin ya :((
KAMU SEDANG MEMBACA
rusak › tk.
Fanfictiontaehyung dan jungkook saling menemukan atap ketika rokok dan pematik paksa mereka untuk bersitatap. ©taelkom, 2018.