Jangan Takut

16.6K 2.9K 199
                                    

"Seberapa ancur?"

"Banget deh pokoknya,"

"Satu sampe sepuluh?"

"Sebelas."

"Sinting, man."

Jaewon hisap nikotinnya lagi, ponsel di telinga dan total berusaha jadi seorang pendengar yang baik buat sahabat satu rokoknya.

Ini jam dua belas malam, dan Jaewon cukup kaget setiap unlock ponsel pasti ada notifikasi pesan dari Taehyung.

Tipikal ngga peduli, karena—bro, asing rasanya kalau cowok model Jaewon chatting sama sahabat cowoknya lepas dari sekedar ajakan minum, nongkrong, atau balapan.

Tapi malam ini notifikasi Taehyung buat Jaewon langsung telepon karibnya—sekedar tanya ada apa, niatnya begitu. Tapi justru satu jam berlalu luar biasa cepat.

"Oke, bangsat, santai. Jadi..."

"Iya, gagal."

Jaewon hela napas, intonasi sahabatnya belum pernah selirih ini, demi Tuhan.

"Gue susul kesana?"

"Gue masih mau usaha disini. Gue harus pulang bawa Jungkook sekaligus restu."

"Sounds like autism, but if my girl heard that, i'm pretty sure she'll melted like shit right now."

"Hahaha, just trying to be gentle for my boy,"

"Shut the fuck up, you gay shit. My ears feeling like cursed."

Taehyung ketawa kencang, dan setelahnya hela napas. "Gotta go,"

"Oke,"

Hening, dan satu pun dari mereka ngga ada yang niat tutup sambungan.

"Taehyung?"

"Yea?"

"Gue ngerasa gay, tapi gue harus bilang ini."

"Hahaha, apaan?"

"Don't give up, if you really wants get what yours."

"Oke, santai,"

"Dan, Taehyung—"

"Apa?"

"Berhenti berjuang kalo emang udah ga memungkinkan, oke?"

"I love you,"

"I hope you rot in hell, fucker."

Dan sambungan di tutup, dengan Jaewon yang hembus asap ke udara.

Malam itu buat pertama kalinya, Jaewon ikut pusing atas masalah yang Taehyung terima kali ini.

••


"Jung?"

"Hum?"

Hening beberapa detik, beralih Taehyung datangi si pacar di balkon; duduk di kursi dengan lutut dipeluk di dada, dan lagi, tatapannya kosong.

"Kenapa ngga pake selimut? Dingin disini,"

Geleng pelan dengan tatapan lurus ke depan; atap rumah tetangga dan langit malam. Mereka masih di rumah Bunda, omong omong.

"Brengsek, sakit mending ngga manja, gue ambil selimut sama cokelat panas dulu,"

Tangan kiri dicekal, genggamannya lemah. Taehyung noleh dan dapati raut sedih Jungkook.

"Gue udah sakit,"

Oke, sial, Jungkook sedih itu jadi satu titik lemah Taehyung sekarang.

"—jauh sebelum gue duduk disini."

Air mata Jungkook jatuh tanpa komando, dan Taehyung jadi luar biasa bingung.

Semuanya oke, begitu tadinya.

Beralih Taehyung peluk Jungkook di posisinya yang masih berdiri, peluk kepala Jungkook di perutnya dan Jungkook yang total peluk Taehyung erat luar biasa.

"Gue ngga pernah minta, Taehyung. Cuma hari ini, seumur hidup demi Tuhan. Kenapa Bunda ngga kasih?"

Usap kepala Jungkook dan tatap langit malam, beruntung Jungkook ngga liat rautnya sekarang, sedih jelas, bahkan mau nangis rasanya.

Tapi tawa konyol yang justru keluar, dan tepukan kecil beberapa kali di kepala bagian belakang Jungkook buat cowok itu diam dari ocehannya.

"Bunda gue bilang; jadi egois itu perlu di beberapa keadaan,"

Jungkook diam, dengar omongan Taehyung.

"Dan gue dituntut buat selalu dapet apa yang gue mau,"

Masih diam, dan senggukan yang perlahan mulai reda.

"Jangan takut, gue ngga bakal nyerah. Gue rasa ini waktu yang pas buat egois, dan gue belum dapet apa yang gue mau,"

Angguk dua kali, dan usap air mata di kaus Taehyung.

"Gak papa, Jungkook. Kompromi cuma masalah waktu, dan juga—"

Tarik kepala Jungkook dan ditangkup, kecupan di pucuk hidung jadi penutup obrolan.

"—jangan nangis, jelek, idiot."










[ Rυѕαк ]

iya gagal, hehehehehehehehehe :)

rusak › tk.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang