Hari menjelang sore ketika mereka sampai ke apartemennya Woojin. Sepanjang perjalanan, Sohye hanya menatap keluar jendela dengan pandangan kosong. Sebelah tangannya digenggam oleh Woojin yang sedang menyetir, ibu jarinya membuat gerakan melingkar di punggung tangannya. Sesekali Woojin menciumi tangan gadis kesayangannya itu. Dengan tangan yang sama, beberapa kali ia juga menyampirkan rambut Sohye ke balik telinganya, sekedar untuk mengecek keadaannya. Saat Sohye tidak merespons, Woojin hanya menghela napas pelan dan kembali fokus pada kemudi mobilnya.
Seperti boneka hidup tanpa ekspresi, Sohye mengikuti saja kemanapun Woojin membawanya. Tangannya masih digenggam erat oleh Woojin, menuntunnya masuk ke kamar Woojin dan duduk di atas pangkuannya.
Kini kedua mata mereka saling bertatapan, tapi Sohye masih diam seribu bahasa. Tidak satu pun suara keluar dari mulutnya. Genggaman tangan Woojin tidak dibalas olehnya, tapi dia juga tidak berusaha melepaskan diri darinya. Woojin memandanginya dengan tatapan sendu, dia tahu Woojin cemas dengan aksi diamnya itu. Sesekali Woojin meremas tangannya, mengelus pipinya dengan lembut, dalam diam meminta Sohye untuk memberinya kesempatan, tapi percuma.
Sohye sedang mati rasa.
Sedih? Iya. Tapi entah kenapa dia tidak bisa menangis. Hal yang aneh karena biasanya Sohye gampang sekali menangis, bahkan oleh hal-hal kecil sekalipun.
Marah? Mungkin. Kalaupun dibilang marah, dia tidak tahu harus marah sama siapa. Ini bukan sepenuhnya salahnya, juga bukan sepenuhnya salah Woojin, apalagi salah Nancy. Kalau saja Sohye tidak gengsian dan segera memperbaiki hubungannya dengan Woojin, mungkin Nancy juga tidak akan punya kesempatan untuk mendekati Woojin, yang mungkin juga sudah lelah dengan hubungan mereka yang semakin renggang.
Mungkin.
Logikanya, untuk apa mempertahankan sebuah hubungan yang hanya membuat kedua belah pihak tidak bahagia? Apalagi kalau ada pihak lain yang menawarkan hubungan yang tampaknya lebih menyenangkan?
Woojin memang saat ini bersamanya, tapi untuk apa kalau hatinya sudah bukan 100% milik Sohye lagi?
Sohye tidak rela. Walaupun hati Woojin masih 90% untuknya, Sohye tidak akan pernah rela membagi 10% lainnya ke orang lain. Dia tidak akan sanggup. Melihat Woojin bersikap manis ke cewek lain saja sudah cukup membuat hatinya sakit, apalagi kalau cowok itu sampai menaruh rasa pada orang lain.
Ugh.
Memikirkannya saja dia tidak sanggup.
Woojin itu miliknya.
Hanya miliknya.
Tapi bagaimana caranya mengetahui hati Woojin yang sebenarnya?
Tanpa peringatan, Woojin mengecup sebelah pipinya beberapa kali. Kecupan-kecupan singkat itu lalu merambat pelan ke pipi sebelahnya, lalu ke kening, kedua kelopak matanya, hidung, hingga ke bibir Sohye.
Sohye membiarkannya. Dia tidak membalas ataupun menghindari ciuman Woojin, dia hanya diam sambil menimbang-nimbang apakah perasaannya masih sama ketika Woojin menciuminya seperti ini.
Woojin tidak menyerah walaupun tidak mendapat respon apapun dari Sohye setelah menghujaninya dengan satu set ciuman di hampir seluruh wajahnya. Sambil menarik pinggang Sohye agar lebih mendekat padanya, Woojin lalu melakukan set kedua, kali ini dengan menambahkan gigitan-gigitan kecil di sekitar rahang, telinga, dan terakhir di bibirnya.
Sohye pun mulai merinding. Akhirnya getaran-getaran yang biasa dia rasakan setiap kali Woojin menyentuhnya perlahan muncul kembali. Harus diakui, ada efek menenangkan di setiap ciuman Woojin, dan tanpa sadar perlahan Sohye menutup kedua matanya, menikmati setiap usapan lembut dari bibir Woojin yang biasanya selalu berhasil membuatnya terlena. Apalagi saat Woojin mulai menggigiti bibir bawah Sohye pelan, gadis itu pun tak kuasa menahan diri untuk membalas ciuman Woojin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Smultronstalle | Woojin x Sohye (COMPLETED)
FanfictionSmultronstalle (n.) a special place discovered, treasured, returned to for solace and relaxation; a personal idyll free from stress and sadness. (Original story written in Bahasa)