Mall yang berada di kawasan tengah kota Bandung itu sedang cukup ramai didatangi banyak orang.
Banyak yang sedang berbelanja, hanya sekedar jalan-jalan dengan keluarga atau bahkan pacar.
Itu semua yang bisa Shiren lihat dari dalam restoran yang kini ia duduki bersama seorang lelaki di hadapannya.
Shiren bukanlah seseorang yang jago dalam berbicara—apalagi dengan laki-laki. Ditambah lagi sekarang, lelaki dihadapannya itu terlihat gelisah sambil terus-terusan menatap ke arah luar.
Shiren tersenyum kaku mencoba menggerakkan lidahnya yang terasa kaku jika berbicara dengan Aldric, "Kalau emang terlalu kepikiran Kak Devano, jalan-jalannya bisa kapan-kapan lagi, kok, Kak."
Aldric yang menyadari Shiren berbicara padanya menoleh padanya lalu tersenyum, "Tadi gue udah izin ke mereka bakal bantu cari Devano agak sorean."
"Pulang sekarang aja. Kasian yang lain."
Aldric menggeleng, "Gue masih punya urusan sama lo."
"A-apa?" Tanya Shiren gugup.
"Gue punya urusan ngebahagiain lo."
Seketika Shiren membeku di tempat, wajahnya terasa panas dan sepertinya kedua pipinya sudah memerah. Buru-buru Shiren menunduk.
Aldric terkekeh, "Jangan malu gitu, kalau kita udah jadian, gue bakal sering kayak gitu sama lo. Jadi lo biasain, ya?"
Shiren terdiam. Sebenarnya ada hal yang mengganjal sejak tadi pulang sekolah. Saat ia bertemu dengan Aldric di parkiran.
Ia ingin menjawab ajakan Aldric, tapi lidahnya kelu. Setiap bertatapan saja ia selalu keringat dingin, apa jadinya jika ia mengucapkan itu? Mungkin ia bisa pingsan di tempat.
"Kenapa?" Tanya Aldric sambil mengunyah daging steak yang ia pesan.
Shiren tak menjawab, ia masih asik mengaduk-aduk makanannya.
"Ren? Makanannya gak enak? Kalau gitu kita pesen yang lain, ya?"
"Eh, enggak enggak! Makanannya enak, kok." Shiren tersenyum kaku. Sebuah senyum yang kini Aldric sukai.
"Terus kenapa? Ada yang mau lo omongin?" Bagai Aldric adalah pembaca pikiran atau Shiren yang memang terlihat gugup.
"Kalau mau ada yang diomongin, bilang aja." Ucap Aldric.
Shiren menggeleng, "Nanti aja, Kak. Mau nyari oksigen yang cukup buat ngomongnya."
Aldric tertawa cukup keras, membuat beberapa orang yang sedang berada di restoran itu menatapnya bingung.
"Kenapa sih?"
"Lo lucu tau. Jadi makin sayang."
"Apa?"
"Jadi makin sayang. Kenapa? Salah?" Tanya Aldric dengan nada jahil.
"E-enggak."
Setelahnya hanya ada keheningan diantara mereka. Hanya suara para tamu lain beserta pegawai restoran yang memenuhi kuping keduanya.
"Udah selesai?" Tanya Aldric.
Shiren mengangguk sambil mengelap bibirnya, "Udah, Kak. Pulang sekarang kan?"
Aldric mengangguk, "Yuk? Gue kawal lo sampe ke rumah."
Shiren pun menurut, ia berjalan keluar restoran dengan tangan yang digenggam erat oleh Aldric.
KAMU SEDANG MEMBACA
Eres mía, Aletta [END]
Teen FictionAkibat suatu kejadian yang membuat satu batang coklat gepeng, Devano yang dingin dan cuek harus berurusan dengan Aletta, junior yang sifatnya bertolak belakang dengannya. Aletta yang bawel, Aletta yang selalu melihat sikap dingin Devano, Namun Alett...