50

5K 249 9
                                    

BRAK!

Pintu berwarna coklat itu terbuka lebar dengan begitu kencang, memperlihatkan seorang gadis yang masih memakai seragam menatapnya penasaran.

Sedangkan seorang lelaki yang baru saja menyelesaikan tugasnya, menatap penuh terkejut namun kesal secara bersamaan.

"Ketuk dulu kenapa sih?!" Ujar Bima.

"Bodo," Kanaya duduk di tepian kasur, "Kata Mama tadi lo bolos?"

"Iya."

"Kenapa?"

"Ketemuan sama Devano."

"Serius?! Gue udah lama tau gak ke sana, kabar dia gimana?" Bima tak menjawab pertanyaan perempuan yang hanya berbeda 3 bulan di bawahnya. Bima hanya menatapnya dengan pandangan yang sulit diartikan, "Lo kenapa, sih, natap gue kayak gitu?"

Bima masih belum menjawab dan perempuan itu juga masih belum mengerti apa maksud dari tatapan itu.

"Gak jelas!" Kanaya hendak berjalan keluar dari kamar itu, tapi kata yang terlontar dari Bima membuatnya refleks menoleh.

"Berhenti ngelakuin ini, Nay."

"Maksud lo?"

"Lo gak bakal dapetin Devano, begitu juga gue yang gak bakal dapetin Aletta. Devano milik Aletta dan begitu juga sebaliknya."

"Kenapa sih lo? Bukannya dari awal lo setuju-setuju aja sama rencana ini? Sedikit lagi kita bakal berhasil dapetin apa yang kita mau, Bim."

"Enggak, Ta. Gak bakal bisa," Bima menghela nafas, "Sebaiknya lo berhenti sekarang juga—mereka udah baikan."

Kanaya menatap Bima tak percaya, "Lo yang buat mereka baikan?!"

"Iya. Maka dari itu lo berhenti sekarang juga."

"Enggak," Kanaya menggeleng, "Gue gak mau! Gue percaya Devano bakal jadi milik gue!"

"Kalau pun lo dapetin Devano, lo gak bakal ngerasa kebahagiaan yang sama dengan kebahagiaan yang Aletta rasain. Karena lo dapetin Devano dari cara yang salah," Bima menghela nafas, "Gue tau ini sulit, tapi ini juga buat kebaikan lo. Kalau lo emang gak ditakdirin buat dia, gue yakin Tuhan udah siapin yang lebih baik dan yang pastinya cinta sama lo."

"Terserah lo!" Kanaya memutar badannya, keluar dari kamar Bima dengan perasaan kesal.

Tak lama Anita masuk ke kamar Bima setelah mendengar pintu kamar anak perempuannya ditutup dengan begitu kencang dan perdebatan kedua anaknya itu.

Anita tau tentang rencana kedua anaknya. Anita juga tau tentang Bima yang ingin berhenti dengan semua rencana itu. Jadi Anita mengerti bagaimana sulitnya anak lelaki itu membujuk Kanaya yang cukup keras kepala.

Anita mendekati anak lelakinya itu, mengusap bahunya dengan sayang, "Adik kamu cuman butuh waktu."

***

Adel menggeleng pelan ketika sambungan teleponnya lagi-lagi tak di angkat. Ia kembali memencet tombol hijau pada salah satu nomor dan berdecak sebal ketika sambungan itu belum juga di angkat.

Adel memutar badannya, lalu menggeleng, "Gak diangkat."

Aldric juga mengangguk, "Teleponnya Kak Reza juga gak aktif."

"Lo gimana, Lan? Diangkat sama Devano?" Aldric menoleh pada Alan yang baru membalikkan badannya, namun jawaban Alan hanyalah sebuah gelengan.

"Sempet diangkat, tapi gue gak denger apa-apa. Kayaknya dia lagi di jalan."

"Terus Aletta kemana?" Shiren berdecak.

Eres mía, Aletta [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang