21

5.3K 260 6
                                    

Malam yang terasa sangat dingin ini tak membuat Devano berencana masuk ke kamar dari balkonnya.

Ia menghela nafas saat kembali tersadar bahwa komplek rumahnya bahkan sama sepinya dengan rumah besar yang sejak lahir ia tinggali ini.

Rumah besar berlantai 2, dengan 8 kamar di dalamnya, dan hanya 2 kamar yang terpakai. Itupun kalau memang Tio sudah datang dari kantornya.

Seperti sekarang, Devano hanya sendiri. Bi Atih dan Mang Uyo akan pulang setelah maghrib, dan setelah itu, Devano sendiri.

Kadang memang ada Aldric, Aaron, dan Alan, hanya saja, tadi siang sepulang sekolah ia sudah berkumpul di Cafe baru sebrang sekolahnya.

Devano menggeram, ketika ingat tadi siang matanya menatap seorang gadis dibonceng dengan seseorang bermotor hijau. Tentu saja gadis yang sangat Devano kenal.

Gadis yang awalnya memasuki pikirannya karena coklat, yang lama-lama entah kenapa jika berada di dekatnya, Devano sering merasa jantungnya berdetak lebih cepat.

Dan bodohnya Devano belum bisa mengartikan apa maksud reaksi tubuhnya.

Apalagi ia masih sangat ingat ketika Aaron membajak ponselnya, menelepon Aletta beberapa kali hingga mengirimkan pesan tanpa sepengetahuan Devano.

Yang jelas, Devano bisa lihat bahwa pesannya sudah terbaca.

Ia kesal, apalagi jika sudah ingat pesan apa yang dikirimkan pada Aletta oleh Aaron.

Aaron gila! Batinnya.

Sampai sekarang ia tak tau harus bagaimana. Ketika ingat besok akan bertemu di sekolah, ia pasti akan sangat malu.

Devano mendengus, berjanji dalam hatinya akan menjitak kepala Aaron hingga puas besok.

***

Sudah masuk pukul 02.00 pagi, namun sepasang mata milik Aletta masih begitu terjaga.

Bahkan rasa kantuk pun tak hinggap pada dirinya pagi ini.

Ia akan merutuki nasibnya jika besok telat datang ke sekolah. Padahal jam pertama pelajaran di kelasnya adalah Biologi, pelajaran kesukaannya.

Chat dari Devano tadi sore yang menjadi alasan matanya tak kunjung tertutup.

Sebenarnya tak harus seperti ini menyikapi hal yang dilakukan Devano. Namun entah kenapa, beberapa kejadian yang dialaminya dengan Devano membuat jantungnya sendiri tak bisa berdetak normal.

Aletta menghela nafas, masih tak mempercayai kejadian tadi sore. Bahkan Shiren pun beberapa kali menanyakan kebenarannya.

Bahkan saking bingungnya, Aletta hanya membaca saja pesan tersebut tanpa ada niat untuk membalas.

"Bakal gue coba tanya besok." Gumamnya, namun sesaat wajahnya tertekuk, "Malu-maluin banget sih gue?"

Aletta terdiam, menatap bingung sekaligus mencoba berfikir harus apa ia nanti jika bertemu Devano.

Apa ia harus menanyakan ini? Atau ia diam saja?

Aletta menggeram, "Gue harus tidur sebelum gue beneran gila karena ini."

***

"VANIA! PINJEM TUGAS FISIKA DONG! GUA LUPA!"

Eres mía, Aletta [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang