Sambil membawa tas dan jaket miliknya, Aldric berjalan ke arah pintu kaca yang tertutup. Saat sudah memasuki Cafe, matanya menyisir setiap ujung Cafe tersebut.
Matanya berhenti lalu kakinya melangkah maju ke arah 2 orang yang sedang duduk bersama satu orang perempuan. Mereka nampak berbincang santai, sesekali mereka juga tertawa akibat lawakan salah satu lelaki itu.
Sampai dihadapan mereka, Aldric duduk dan menatap satu persatu orang di hadapannya.
"Pano mana?" Tanya Aaron.
Aldric menggeleng, "Nanti dia nyusul."
"Anak dari SMA Floridanya udah kesini?" Sekarang bagian Aldric yang bertanya.
Lalu Alula yang sedari tadi hanya diam saja mengangguk, "Aletta bilang, Bima sama Pandu lagi perjalanan sama mereka." Semuanya mengangguk mengerti.
Beberapa menit berlalu, canda tawa karena lawakan Aaron pun sudah beberapa kali ia lontarkan. Adel dan Shiren datang bersamaan setelah itu. Lalu disusul Aletta, Pandu, Bima, dan Tifa yang setelah Adel dan Shiren datang.
Mereka akan membicarakan soal kegiatan luar anak-anak taman bacaan. Sebenarnya Bima belum begitu menyetujui hal ini, ia masih tak terima dengan pernyataan Aletta soal kegiatan ini.
Maka dari itu, Alula mengusulkan untuk mereka kumpul saja.
"Jadi tinggal Devano yang belum datang?" Tanya Alula.
Aldric mengangguk, "Kayaknya kejebak macet."
"Tumben. Padahal kalau lagi macet pun dia selalu datang tepat waktu." Ujar Alan.
"Iyalah. Naik motornya aja berasa mau mati gue mah." Aaron ikut berucap.
Aletta diam. Menunggu Devano datang, sama seperti yang lain. Beberapa kali ia melihat ke arah luar dan belum menemukan sama sekali keberadaan Devano yang datang ke Cafe.
Sebenarnya Devano sudah mengabarinya bahwa dirinya akan telat karena harus datang ke salah satu acara formal keluarga. Tapi ini sudah hampir sejam, Devano belum juga datang.
Aletta takut terjadi sesuatu yang takut terjadi sesuatu. Apalagi jika mengingat bahwa Devano baru sembuh sakit kemarin lusa.
"Niat dateng gak, ya, orangnya?" Pertanyaan Bima membuat semua orang melayangkan tatapan bingung ke arahnya.
"Sopan dong, Bim." Bisik Tifa.
Bima mendengus, "Ini udah hampir sejam dan cowok itu belum datang aja. Lo tau, kan, gue gak bis—"
"Maaf telat." Suara Devano memotong penjelasan Bima. Semua orang beralih memperhatikan lelaki bermata biru itu.
Devano duduk, tepat di sebelah Bima berada. Tak ada yang dilakukan setelahnya, masih Devano yang biasanya dingin.
"Jadi kita mulai?" Tanya Alula dan semua orang mengangguk setuju.
Alula berdeham, "Oke. Gue denger dari Aletta, kalian punya rencana buat ajak jalan-jalan anak-anak taman bacaan. Bener?"
"Bukan kami, tapi mereka. Gue gak merasa punya rencana kayak gitu." Ujar Bima cepat.
Sebenarnya sedari tadi Tifa menahan tangannya untuk tidak membekam mulut lelaki itu. Ia malu karena ucapan Bima yang terlihat sangat-sangat tidak sopan. Apalagi pada orang yang baru ia kenali.
Sepertinya juga itu terjadi pada Pandu. Sedari tadi ia berusaha untuk tersenyum sopan melihat tanggapan teman-teman Aletta lainnya ketika mendengar Bima berucap seperti itu.
"Iya, oke. Aldric dan Aletta punya rencana kayak gitu. Paham, Bim?" Tanya Alula dan Bima hanya mengangguk saja.
"Kalau gitu apa yang buat lo gak setuju? Padahal ini bagus buat anak-anak taman bacaan." Ujar Alula lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Eres mía, Aletta [END]
Подростковая литератураAkibat suatu kejadian yang membuat satu batang coklat gepeng, Devano yang dingin dan cuek harus berurusan dengan Aletta, junior yang sifatnya bertolak belakang dengannya. Aletta yang bawel, Aletta yang selalu melihat sikap dingin Devano, Namun Alett...