Epilog

8.3K 282 29
                                    

5 tahun kemudian

Tawa yang keluar dari bayi berumur 7 bulan itu berhasil menjadi perhatian para pengunjung Kafe. Karena sejak 10 menit yang lalu, suara itu terus terdengar.

Tapi suara bayi itu bukan tanpa alasan. Seorang lelaki dewasa yang berumur sekitar 20 tahun ke atas adalah penyebab sang bayi tertawa. Dan beberapa pengunjung Kafe dibuat tersenyum oleh tingkah keduanya yang menggemaskan. Yang satu karena terus tertawa dan yang satunya lagi terus menjahili sang bayi.

"Kayaknya dia Papa muda."

Tapi pernyataan itu salah. Lelaki dewasa itu bukanlah salah satu dari orang tua bayi bernama Abimana itu. Tapi terkadang memang kedekatannya membuat orang-orang menebak bahwa dia adalah ayah dari Abim.

Devano. Umur lelaki itu sudah berkepala dua, tepatnya 23 tahun. Dirinya kini menjadi salah satu mahasiswa jurusan kedokteran di salah satu universitas yang ada di Kota Bandung. Tak banyak perubahan di wajahnya, sifatnya juga masih sama dinginnya sejak dulu. Tapi mungkin jika dilihat lebih detail, rambut lelaki itu nampak lebih panjang.

Abimana sendiri adalah anak pertama dari Alula juga Rio yang sudah menikah sekitar 2 tahun yang lalu.

Menjadi mahasiswa kedokteran membuatnya merasa penat, tapi diam-diam, bayi kecil di hadapannya bisa membuat penatnya berkurang. Setidaknya untuk hari itu saja.

Selain karena itu, sejak 4 bulan, Abimana memang menyukai Devano. Maka dari itu Alula tak pernah segan untuk menitipkan Abimana pada Devano, karena Alula tau jika anaknya bersama lelaki itu, Abimana pasti anteng bermain.

Tiba-tiba seorang perempuan duduk di hadapannya. Keringat membasahi keningnya. "Udah nunggu lama, ya?"

Devano menggeleng, "Nih minum."

Aletta mengangguk, ia meneguk lemon tea milik Devano yang sepertinya belum Devano sentuh sama sekali. Aletta meneguknya hingga tersisa setengahnya.

Aletta terdiam sejenak, mengambil napas dalam-dalam karena rasanya napasnya ini habis menguap oleh cuaca panas di Kota Bandung. Sedangkan Devano diam-diam tersenyum tipis memperhatikan Aletta dari arahnya.

Sudah hampir lima tahun dan Aletta juga tak mengalami banyak perubahan. Wajah gadis itu masih sama saja, hanya entahlah, ia nampak lebih dewasa dan berwibawa.

Belum lagi perempuan itu kini menjadi mahasiswi jurusan psikologi. Membuatnya memiliki aura yang berbeda.

"Abim sini sama Teteh." Aletta hendak mengambil Abim ke pangkuannya, namun Devano menahan Abimana untuk tetap duduk di pangkuannya.

"Abim sama aku aja."

"Kamu lagi nugas, nanti malah kagok."

Devano menggeleng dan tersenyum tipis, "Gak apa-apa."

Aletta akhirnya mengalah, lagipula Devano juga tak merasa keberatan Abim ada di pangkuannya.

"Udah makan?" Tanya Devano.

Aletta mengangguk, "Tadi Adel dateng ke kampus sekalian ngajak makan. Kamu gimana?"

"Udah juga."

Hening setelahnya. Devano sibuk dengan tugas di laptop-nya sedangkan Aletta sibuk membalas pesan yang masuk dari Adel.

"Oh iya—kamu udah dapet kabar reuni?" Tanya Aletta.

Devano menghentikan aktivitasnya, lalu ia mendongak dan mengangguk, "Udah. Tadi malem Aldric ngabarin aku."

"Ikut gak?"

Devano mengangguk, "Aku usahain."

Kembali hening, mereka sibuk dengan kembali dengan urusannya. Walaupun terkadang Devano bersuara karena Abim berusaha meraih wajah Devano.

Eres mía, Aletta [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang