BRAK!
Alan meringis ketika dirinya terdorong hingga punggungnya menyentuh tembok cukup keras.
"Apa-apaan sih lo?! Gue belum selesai sama dia dan lo tarik gue balik?! Gila lo ya!" Teriak Alan.
"Lo yang gila, Lan! Lo bisa ngebunuh Devano kalau selesain masalah pake cara tadi! Lo gak liat Devano hampir sekarat gara-gara lo?!"
"Gue gak peduli!" Acuh Alan, "Dia udah buat hubungan sahabatnya Aletta sama Adel renggang! Mereka berdua nangis, dan gue gak terima!"
"Devano juga punya alasan untuk semua ini, Lan!"
"Alasan dia ngancurin semuanya!" Teriak Alan.
"Tapi lo juga harus ngertiin dia! Dulu dia udah kehilangan Mamanya, dan sekarang dia juga gak mau kehilangan perempuan yang dia sayang untuk kedua kalinya!" Balas Aldric berapi-api. "Dan sekarang jangan buat dia kehilangan lo sebagai sahabatnya!"
"Semua orang bela Devano yang jelas-jelas awal dari kekacauan ini! Gue yang berniat ngebantu malah gak pernah dihargain!"
Aldric menghela nafas, mencoba menurunkan emosinya yang tadi hampir mencapai ubun-ubunnya, "Gue hargain semua usaha lo, tapi gue bakal lebih hargain usaha lo kalau itu gak buat bahaya orang lain."
"Terus gimana lagi?! Kayak Aletta gitu?! Yang memohon-mohon dengan sabar?! Lo liat dong! Cara gitu gak mempan buat Devano!"
Emosi lelaki di hadapannya itu semakin meluap. Wajahnya memerah dan tatapan matanya sudah dapat menyiratkan bahwa lelaki itu begitu marah.
Ketika Aldric akan menjawab ucapan Alan, ponselnya mengeluarkan suara, menandakan bahwa ada telepon yang masuk.
'Lala'
Nama itu tertera jelas di ponselnya. Ia menggeser tombol hijau dan suara seorang perempuan terdengar di telinganya.
"Hal—"
"Devano gak ada di butik!"
Aldric mematikan sambungan telepon itu, tanpa peduli dengan Alan, ia melangkah keluar kamar Alan.
***
Motornya melaju lebih kencang ketika rasa sakitnya pada bagian perutnya terasa. Berbahaya memang, tapi jika semakin cepat dirinya sampai di rumah Aletta, ia bisa lebih cepat meminta maaf pada gadis itu.
Ia berbelok ke arah kiri, memasuki pekarangan rumah Aletta yang berada di ujung jalan.
"Aletta ada, Kang?" Tanya Devano pada satpam di rumah Aletta.
Kang Dadang—satpam rumah Aletta—sempat mengernyit, mungkin bingung untuk apa Devano yang sedang dalam keadaan lebam di wajahnya ini menemui anak majikannya. Namun dua detik kemudian ia terkesia dan tersenyum ramah,"Ada. Coba langsung tanya aja sama orang dalam."
Devano mengangguk samar, langkah kecilnya mengarah ke pintu besar yang kini terbuka.
"Wah! Ini teh temannya Neng Tata—euleuh ini kenapa wajahnya?" Tanya wanita paruh baya itu.
Mata Devano sempat tertutup ketika perutnya kembali sakit, "Sa-saya cari Aletta."
"Oh! Neng Tata ada di kamarnya. Kesana aja, Den."
Devano lagi-lagi hanya mengangguk samar, langkahnya kembali mengarah ke setiap anak tangga yang tertuju ke lantai 2 rumah besar itu.
Dari kejauhan, Devano sudah bisa mendengar tangis gadis itu. Rasa sesak di dadanya kembali terasa oleh dirinya. Namun ia tetap berjalan ke arah kamar gadis itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Eres mía, Aletta [END]
Novela JuvenilAkibat suatu kejadian yang membuat satu batang coklat gepeng, Devano yang dingin dan cuek harus berurusan dengan Aletta, junior yang sifatnya bertolak belakang dengannya. Aletta yang bawel, Aletta yang selalu melihat sikap dingin Devano, Namun Alett...