33

4.1K 199 1
                                    

Siang yang panas ini para murid memilih untuk datang ke kantin dan mengisi perut yang terasa keroncongan setelah belajar beberapa jam lalu.

Sama halnya dengan Shiren, ia berniat untuk datang ke kantin. Namun ia tak ingin sendirian, sudah sejak beberapa menit yang lalu ia berusaha membujuk Aletta untuk pergi ke kantin, dan jawaban gadis itu hanyalah gelengan kepala membuat Shiren kesal.

Shiren mengerti bahwa sahabatnya ini masih memikirkan masalahnya dengan Adel. Ia juga turut sedih ketika melihat tadi pagi Adel berbincang dengan Kanaya, siswi yang selama ini Shiren kenal sebagai musuh Adel.

Adel. Gadis itu berubah. Adel yang dulu menggemaskan dan tak pernah tau malu kini malah terkesan angkuh. Apalagi jika bertemu dengan Aletta, Adel dengan dinginnya berjalan melewatinya begitu saja. Tapi Shiren yakin, Adel juga menyimpan kerinduan pada persahabatan mereka.

"Lo yakin gak bakal ikut ke kantin?" Tanya Shiren memastikan dan ini akan jadi penawaran yang terakhir.

Aletta mengangguk, "Lo punya pacar. Jadi sama dia aja."

"Kalau lapar langsung chat gue. Biar nanti gue bawain makanan." Perintah Shiren dan Aletta hanya mengangguk saja tanpa berminat untuk menjawab.

Shiren menyerah. Ia memilih untuk menghampiri Aldric yang sudah lama di kantin. Ah, tapi ia merasa ada sesuatu yang akan terjadi pada Aletta.

Aletta. Kini ia sendirian di kelasnya. Hanya bertemankan dengan pulpen uang masih menari-nari diatas buku.

Aletta menghela nafasnya, kegiatan menulisnya pun terhenti ketika mengingat kejadian kemarin. Ketika dirinya ditampar, dimaki, dan dimusuhi oleh sahabat sendiri. Dan itu semua murni kesalahannya.

Aletta mendongak ketika sadar akan ada yang memasuki kelasnya, namun tak jadi karena melihat keberadaannya. Buru-buru Aletta berjalan menghampiri Adel yang akan berjalan keluar kelas.

"Del, dengerin gue dulu." Ujar Aletta.

Gadis di depannya itu berhenti. Memutar tubuhnya menjadi menghadap Aletta dengan senyum sinis.

"Lo mau minta gue dengerin penjelasan lo?" Tanyanya, "Gue gak butuh. Karena semua udah jelas."

Aletta menggeleng cepat, "Awalnya gue lakuin ini semua karena gue mau jaga perasaan lo, Del. Gue gak ada maksud buat nutupin ini karena apapun apalagi karena gue suka sama Kak Alan. Semuanya gak bener."

"Jaga perasaan gue kata lo?!" Adel berdecih, "Lo emang berhasil jaga perasaan gue, Ta. Tapi itu dulu! Sebelum gue tau sebenarnya kalau perempuan yang ada di hadapan gue sekarang adalah seorang pembohong dan penghianat!"

Air matanya lagi-lagi lolos begitu saja, sakit ketika mendengar Adel memanggilnya dengan sebutan itu, "Apa yang perlu gue lakuin biar lo percaya sama gue? Lo bilang sama gue, Del."

"Gue udah gak butuh apapun dari lo." Ada jeda, "Maaf, gue gak punya banyak waktu buat dengerin penghianat kayak lo."

Adel berlalu meninggalkan Aletta yang kembali menangis.

Sementara di ujung lorong, seorang lelaki menatap gadis itu dengan manik mata birunya. Ada rasa tersayat ketika dirinya melihat Aletta yang biasanya ceria sekarang menjadi sesedih itu.

"Puas lo sekarang liat dia nangis?" Pertanyaan itu membuat Devano menoleh.

Alan. Lelaki itu tengah tersenyum sinis namun pandangannya tertuju pada Aletta.

Eres mía, Aletta [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang