Hari minggu. Seperti minggu-minggu yang lalu, tak ada kegiatan apapun yang berarti, yang dilakukan oleh Naina. Seorang gadis yang hampir berusia tujuh belas tahun beberapa bulan lagi itu.
Seperti biasa, ia hanya mondar mandir dari kamar ke ruang tamu, atau ke dapur, taman belakang dan lainnya. Nampaknya seluruh penjuru bumi sudah dijelajahinya pagi itu, entah apa yang ada dalam pikirannya."Nai, kenapa pula kau rupanya? Macam orang mau melahirkan saja, mondar-mandir membuatku pusing 'kali nampaknya!" Seru Linggar.
Gadis peranakan Sunda Medan yang tinggal satu kost namun berbeda kamar dengan Naina, meski keduanya pun tidak bersekolah ditempat yang sama.Nai menggeleng sambil cengengesan tanpa menjawab ocehan Linggar. Kemudian ia kembali berjalan, kali ini kakinya melangkah menuju sebuah taman kecil di samping rumah berlantai dua tersebut.
Dan hal itu membuat Linggar sekali lagi menggeleng-gelengkan kepala karena pusing, melihat warna merah yang hilir mudik kesana kemari dengan cepat.Yups, pagi itu Naina memang sedang mengenakan kaos kebesaran berwarna merah terang, dengan bawahan celana pendek di atas lutut.
Setelah dari taman samping rumah kost nya, selanjutnya Naina berjalan mengarah ke taman belakang. Rumah yang ia dan tiga orang perempuan lainnya tempati itu, memang cukup besar untuk diisi oleh empat orang gadis belia. Naina sendiri baru genap tiga bulan saja menjadi salah satu penghuni rumah tersebut.
Setelah sebelumnya, ia tinggal di tempat kost yang agak jauh dari sekolah.
Mama sebetulnya menginginkan Naina tinggal disalah satu Apartment milik tantenya, adik perempuan mama yang kini tinggal di Jepang setelah berumah tangga. Namun Naina menolak, karena Nai tidak suka tinggal sendiri, terlebih Apartment milik tantenya berada dilantai 35. Dan artinya itu akan sepi sekali, Nai akan semakin tidak mempunyai kawan.
Untuk itulah akhirnya Naina memilih rumah berlantai dua ini sebagai hunian barunya. Selain dekat dengan sekolah, Naina juga senang karena memiliki kawan-kawan baru yang menyenangkan.Rumah berlantai dua, dengan cat dinding berwarna krem itu sepintas biasa saja, tak menampakkan sesuatu yang mencurigakan atau berkesan aneh apa lagi angker. Selama tiga bulan Naina menempati rumah tersebut, tak satupun hal aneh menimpa dirinya. Terutama berhubungan dengan hal-hal mistik. Kawan-kawannya menyenangkan, Ibu kost yang sekali-kalinya datang berkunjung pun tidak menakutkan, bahkan sepasang orangtua pembantu dirumah inipun biasa saja. Normal saja, dalam artian tidak menyeramkan seperti penjaga villa atau rumah kost pada cerita di film-film horror. Semuanya normal, dan baik-baik saja!
Dan hingga hari itupun tiba...
'Apa itu?'
Nai bertanya pada dirinya sendiri. Dari kejauhan ia melihat sebuah benda, panjang dan berkilau. Naina meletakkan jemarinya didagu, sembari berpikir namun belum berani mendekat.
Hampir sepuluh menit gadis itu diam membeku, tanpa mengalihkan tatapannya sedikitpun dari apa yang dilihatnya. Rasa penasaran yang teramat pada akhirnya mengalahkan segalanya, setelah menengok kiri kanan, Nai melangkah sangat pelan dan sedikit ragu.
Sesampainya dihadapan benda tersebuyt, kembali Nai terdiam. Antara ragu dan penasaran, Nai memutuskan untuk melihat sekedar menghilangkan rasa penasaran.
Naina menunduk kemudian berjongkok. Nyatanya, niat hanya melihat itu bertambah menjadi penasaran. Sambil menahan napas dan tangan yang bergetar, Naina memungut sesuatu yang berkilau panjang di balik semak-semak tersebut. Setelah sebelumnya ia menatap lurus pada suatu tempat.
Di ujung lorong setelah taman, terdapat sebuah bangunan kecil dengan pintu tertutup rapat. Di depan pintu terdapat sebuah papan kayu yang nampaknya sudah agak rapuh itu, terdapat tulisan dengan cat berwarna hitam,
GUDANG
Beberapa saat Naina berdiri membatu, memperhatikan benda panjang berkilau yang kini sudah berada ditangannya.
'Hanya pensil sepertinya...' bathin Naina sambil menimang hasil temuannya.
Beberapa waktu kemudian Naina memutar badan, kemudian berdiul dan melangkah pergi meninggalkan taman, dengan benda hasil temuannya yang kini sudah aman di dalam saku celana pendek yang dikenakannya.
Naina tergesa melewati Linggar yang tengah membaca buku sembari telungkup di sofa panjang ruang tv. Linggar hanya melirik dengan ujung matanya, langkah Naina yang terburu.
*
Sesampainya di kamar, Naina merogoh benda panjang yang ia duga semacam pensil tadi. Kemudian menelitinya sejenak, lalu melepas salah satu tutupnya menjadi dua bagian.
'Iya 'kan, hanya pensil...' lirihnya, kemudian menutupnya kembali, dan memasukkan pensil tersebut ke dalam tas sekolahnya.
Lumayan pikir Naina, ada pengganti jika kapan hari pensil miliknya patah atau hilang.
Naina bergegas keluar kamar, lalu bergabung dengan Linggar. Dan Linggar meletakkan novelnya, lalu keduanya asyik bercerita apapun, kecuali pensil yang Nai temukan baru saja. Tak penting juga, hanya pensil. Begitu pikir Naina.*
Minggu malam, Naina sudah menyelesaikan PR sekolahnya. Sudah mengambil cucian dari Laundry, dan sudah pula menyiapkan sepatu serta kaos kaki dan perlengkapan sekolah lainnya untuk hari besok.
Ia menguap berkali-kali. Padahal, jam masih menunjukkan pukul delapan malam.Di luar sana, di ruang Tv, ia bahkan masih mendengar suara Linggar dan Diva yang cekikikan sambil menonton apa entahlah.
Tadinya Naina ingin ikut bergabung dengan mereka, namun urung sebab rasa kantuk itu sudah tak bisa ia tahan lagi.Pada akhirnya Naina merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur, mematikan lampu dan membiarkan kamarnya hanya diliputi cahaya dari lampu balkon. Nai memang tak pernah menutup jendela kamar, ia akan tenang jika sebelum tidur, menatap bintang atau gerimis yang berpendar karena lampu jalan. Atau sekedar menikmati sepoi angin malam. Ia tak perlu khawatir ada maling masuk kamarnya, sebab seluruh jendela di rumah itu sudah diberi teralis besi sebagai pengaman.
Tak butuh waktu lama untuk membuat gadis itu tertidur pulas sambil memeluk boneka Olive kesayangannya, hanya beberapa menit kemudian, sudah terdengar suara dengkur halus dari mulut Naina.
*
Aku membuka mata, tak ada satupun yang kukenali dengan ruangan ini.
Di mana aku berada?!
Mengapa semuanya hanya putih?
Di mana tempat tidurku?
Di mana boneka Olive kesayanganku?Di mana aku?
Aku berjalan, yang kutemui hanya huruf-huruf yang tak mengenal kata. Tak ada satupun barang yang kutemui dalam ruangan ini, kecuali huruf-huruf yang tercecer, tanpa membentuk kalimat apapun.
Tolooong ...
Suaraku menggema dan hanya memantul dalam ruangan ini.
Tak ada pintu!
Tak satupun celah untukku melarikan diri. Napasku tiba-tiba saja terasa sesak, aku kehilangan udara untuk bernapas, oh Tuhan... Apakah ini sesaat sebelum Malaikat pencabut nyawa datang menjemput?
KAMU SEDANG MEMBACA
Pensil Kutukan
HorrorAku hanya butuh waktu Lima menit untuk menangis, serta menumpahkan segala kekesalanku. Setelah itu, semua akan kembali baik - baik saja ....