Malam baru saja datang, pun menyisakan denyut yang teramat sangat pada kepala Naina.
Ia mengedarkan pandangan. Sunyi dan senyap.Entah sejak kapan ia berada di kamarnya, Nai mencoba mengingat apa yang terjadi padanya berulangkali. Entahlah, semakin ia mencoba mengingat, semakin pula kepalanya berdenyut.
"Lo udah siuman..." Naina menoleh cepat.
Jemi, pria itu sedang berdiri dengan kedua tangan berada di dalam kantong celananya. Ia juga masih mengenakan seragam sekolah."Kenapa Lo ada disini, Jemi?" Naina mengernyit, dan mencoba bangun lalu duduk, meski denyut dikepalanya semakin menyakitkan.
Jemi terkekeh, lalu duduk ditepian tempat tidur Naina.
"Lo pikir, siapa yang bawa Lo kesini? Penjaga sekolah? Lo lebih pilih digendong dia, ketimbang Gue?" Ledeknya sembari tertawa lebar.
Naina mendengus. Jika harus memilih, tentu saja dia tak ingin Jemi berada di dalam kamarnya.
Seorang pria asing, yang bahkan sering mengganggunya. Dan kini tiba-tiba berada di dalam ruang privasinya."Mika... Dimana Mika?!" Naina seolah mengingat sesuatu yang terjadi sebelum dia kehilangan kesadaran.
Tatapan Naina dan Jemi beradu. Keduanya dalam pertanyaan yang berbeda, dengan maksud dan tujuan yang sama.
"Apa yang sebenarnya terjadi diantara kalian, Naina?" Jemi menatap dalam-dalam kedua mata Naina.
Naina diam sejenak dengan kening berkerut. Berusaha sebisa mungkin untuk mengingat kejadian siang tadi sepulang sekolah.
*
SEPULANG SEKOLAH
"Nai, aku ingin bicara denganmu," ujar Mika sambil merenggut lengan Naina sebelum Naina melangkah keluar kelas.
"Apa? Kalau soal pensil itu, aku tidak ingin membahasnya, Mika. Aku 'kan sudah bilang berkali-kali padamu," jawab Naina ketus.
Mika mendekat, ia mencengkeram pergelangan Naina kencang sekali. Membuat Naina yang kuat sekalipun, menjadi kaget dan kesakitan.
"Aku sudah bicara baik - baik padamu, Jollie! Kenapa kau selalu menghindari aku?!" Naina melihat kilat dalam tatapan Mika.
Ia mencoba menepis tangan Mika dengan cepat, kemudian berlari. Berlari sejauh mungkin untuk menghindar dari Mika.
"Jollieee... Keluar kau!"
*
Kedua mata Naina bertemu dengan mata Jemi.
"Apa yang Lo pikirkan sama dengan apa yang Gue pikirkan?" Tanya Jemi dengan alis mencuat.
Naina mengerang, tak berapa lama kemudian ia mengangguk."Gue udah ngerasa ada yang gak beres dengan si cupu itu, dari awal dia masuk sekolah kita," lanjut Jemi sambil menjentikkan jari.
"Jem, sebenarnya apa yang Lo tahu soal pensil itu?" Tanya Naina, ia menatap lekat pria yang kini berubah menjadi... Sahabat?
Hmm tidak juga sebenarnya! Atau belum?
Entah apa namanya, yang jelas hubungan keduanya kini sedikit lebih baik."Belum saatnya gue cerita banyak tentang apa yang sebenarnya terjadi. Karena gue sendiri pun belum yakin dengan apa yang terjadi sama diri gue sendiri sekalipun. Tapi awalnya...
Satu Tahun Yang Lalu
"Jemi, bantu Mama dong nak, masuk-masukkan barang ini ke dalam gudang!" Seru Mama Jemi sore itu. Jemi yang sedang asyik berselonjor sambil main game, meletakkan gawai miliknya, kemudian menuruti perintah mama tanpa menolak sedikitpun.
"Kenapa harus di ke gudangin semua, ma?" Tanya Jemi.
Disela kesibukannya mengemas barang-barang kedalam kardus besar."Sudah terlalu banyak barang dirumah kita, Jemi. Suatu saat nanti, mungkin ada orang yang membutuhkan, tinggal kita keluarin dari dalam gudang," jawab Mama.
Keduanya berjalan perlahan, menuruni anak tangga dan melangkah keluar pintu samping. Letak gudang di rumah mereka berada disamping garasi.
Jemi hanya ber 'OH' saja mendengar jawaban mama.
Ia berjalan keluar gudang, ketika tiba-tiba matanya menatap sesuatu yang berkilau, teronggok di atas sebuah bangku besi yang sudah berkarat."Ma, ini punya siapa?!" Teriak Jemi.
Mama yang sudah berjalan lebih dulu membalikkan badan. Kemudian memicingkan mata, menatap sesuatu yang dipegang oleh Jemi.
Jemi mengerti, ia berjalan mendekati Mama. Agar ia bisa melihat dengan jelas apa yang ada dalam genggamannya. Mama mengamati apa yang ada ditangan Jemi, kemudian tersenyum."Oohh... Itu pensil Almarhum Papamu. Pemberian salah satu temannya. Dia sudah meninggal jauh lebih lama sebelum Papa meninggal. Teman Papamu itu pengusaha barang antik. Dan pensil ini, katanya salah satu koleksi barang antik miliknya." Terang Mama.
Ini menarik!
Jemi juga suka dengan barang-barang antik.
"Untukku ya, Ma?" pinta Jemi. Mama mengangguk sambil melanjutkan perjalanannya.
"Ambil aja, Jem..." jawab mama sambil melanjutkan langkah.
Jemi tersenyum. Kemudian melangkah mengikuti mama setelah memasukkan pensil tersebut ke dal saku celananya.*
"Jadi maksud lo, pensil itu pemberian bokap gue?" tanya Naina, setelah Jemi menghentikan ucapannya. Jemi merengut, menatap Naina dengan sebal.
"Bokap lo? Kapan gue cerita kalo gue kenal sama bokap lo?" hardiknya. Naina menggeleng-gelengkan kepala.
"No, bukan gitu! maksud gue, yang nyokap lo ceritain soal temen bokap lo itu, gue rasa dia pasti bokap gue," terang Naina.
Sakit dikepalanya berangsur membaik.
Jemi tergelak mendengar penjelasan Naina. Membuat Naina merengut sebal memperhatikan kelakuannya."Temen bokap gue itu konglomerat, Naina! Sudahlah, gue rasa, kepala lo kena benturan. Nanti besok, gue bawa lo ke dokter biar lo di Rontgen sekalian! Hahaha ..."
Sialan!
Jemi tak percaya jika Naina adalah anak dari pengusaha barang antik itu!
Ya iyalah, mana ada anak konglomerat tinggal di rumah kost-kostan bukan?"Udah ah, gue balik dulu. Oh ya, mulai besok, gue akan awasin teman dekat lo itu," lanjut Jemi seraya berdiri.
Jemi meraih tas ranselnya yang tergeletak di atas meja belajar Naina, kemudian meninggalkan Nai dengan sisa tawa yang masih dikulumnya. Naina sama sekali tidak sempat menjawab apapun, karena Jemi memang sudah keburu pergi.
Sepeninggal Jemi, Naina berbarinv dengan tangan bertumpu dikepalanya. Tatapannya lurus ke langit-langit kamar. Memikirkan tentang akhir-akhir ini, hari-harinya menjadi sangat kacau.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pensil Kutukan
HorrorAku hanya butuh waktu Lima menit untuk menangis, serta menumpahkan segala kekesalanku. Setelah itu, semua akan kembali baik - baik saja ....