Jemi

1.8K 191 1
                                    

Tap Tap Tap

Naina menghentikan langkah. Gemerisik angin malam itu membuatnya sedikit menggigil. Ia mengeratkan kedua tangannya, setelah merekatkan kedua ujung jaket yang dikenakannya.

'ini semua gara - gara permainan Krambol itu! Harusnya tadi itu kutolak saja waktu Linggar menawarkan permainan menyebalkan itu, huuhh...'

Naina masih saja menggerutu sepanjang jalan. Melewati jalanan lengang sisa hujan siang tadi.

Ini adalah malam minggu yang paling apes, selama ia menyandang status Jomblo!
Terakhir Naina pacaran, dua tahun yang lalu. Dengan Rian, cowok cool yang kini lebih memilih untuk mencintai Deni.

Huaaaaa

Naina bergidik mengingat laki-laki itu. Laki-laki sempurna yang menjadi rebutan hampir satu sekolah, yang malah kemudian menembak Naina yang biasa-biasa saja.

Satu tahun mereka berpacaran, cinta monyet katanya. Dan setelah lulus SMP, mereka berpisah karena kabarnya, Rian melanjutkan sekolah di Semarang.

Lalu entah dari siapa awalnya berita itu santer merebak, dikabarkan bahwa setelah duduk dibangku SMA, Rian ternyata berpacaran dengan Deni, kakak kelas mereka sewaktu SMP dulu.

Menggelikan memang, dan Nai selalu mengelak saat bertemu dengan teman lamanya, yang menyinggung soal hubungannya dengan Rian.

*

Tiga jam yang lalu, penghuni kontrakan Ibu Anjani yang semuanya jomblo itu sibuk membuat rencana untuk menghabiskan malam minggu yang gerimis turun rintik-rintik. Akhirnya, setelah keempat gadis itu berdiskusi, bertemulah mereka dengan kesepakatan untuk meminjam papan Krambol pada Pak Sukri, yang bertugas malam di Pos sekuriti perumahan.

Dengan peraturan, bahwa siapa yang kalah, harus mentraktir dan sekaligus membelikan makan malam untuk keempatnya. Jadi Lima, karena kata Giska, untuk diberikan pada Pak Sukri satu porsi. Ya hitung-hitung jasa peminjaman papan Krambol.

Dan Naina memang selalu sial untuk urusan bermain krambol! Ia payah, dan hal itu padahal sudah terulang berkali-kali.

KRSEEEKKK

Naina menghentikan langkah, ia mendengar sesuatu seperti plastik yang terinjak.
Ia mempercepat langkah, bulu kuduknya meremang.
Sisa Dua kelokan lagi, sebelum Naina tiba disebuah warung tenda Pecel Ayam. Nai terus berlari, namun suara langkah yang mengikutinya semakin mendekat.

"Diam..." Naina hampir menjerit, ketika sebuah tangan membekap mulutnya, dan suara pria berbisik ditelinganya. Nai tak sempat melihat wajah pria itu, karena selain cahaya remang, pria tersebut juga menyeretnya menjauh dari trotoar. Ia membawa Naina ke belakang rerimbunan pohon Akasia.

*

"Jemi!" Naina hampir saja berteriak saat pria yang tadi menyeretnya membuka topeng yang ia kenakan. Sekali lagi, tangan Jemi membekap mulut Naina dengan cepat.

"Diaaam..." Bisiknya setengah berseru namun tertahan, tercekat ditenggorokannya.

Naina menepiskan tangan Jemi dengan keras. Ia menatap tajam pada pria yang kerap membuatnya kesal di sekolah itu.

"Cukup ya! Di sekolah Lo boleh ngeremehinn Gue, tapi nggak disini! Ini kawasan tempat tinggal Gue, dan Gue bisa teriakin Lo maling kalau Lo macam-macam sama Gue, Jemi!" Cerocos Nai.
Pria itu menepuk dahi berulangkali, dan juga berkali-kali menempelkan telunjuk ke bibirnya, mengisyaratkan agar Naina menghentikan ocehannya.

Beberapa saat kemudian, setelah Naina kehabisan napas karena menahan marah, akhirnya gadis itu terdiam dengan sendirny, dan melihat kegelisahan diwajah Jemi saat itu.

"Lo itu kenapa?" Tanya Nai. Kali ini, intonasi suaranya terdengar sedikit lebih kalem.

"Pensil itu. Jadi beneran pensil itu ada sama Lo?" Tanyanya. Naina mengernyit.

"Pensil, pensil, pensil! Asli ya, Gue mulai muak mendengar kalimat itu. Dan Gue juga nggak ngerti, kenapa Lo dan si cupu Mika begitu tertarik sama pensil Gue, padahal pensil itu bukan pensil apa-apa, bukan pensil keramat atau mengandung aura magis!" Jawab Nai panjang lebar.

Sesungguhnya Ia masih kesal dengan kejadian semalam yang dilakukan Jollie padanya. Hantu itu membuat sikut Naina lebam sampai saat ini.

Jemi mendesah, kemudian duduk ditrotoar jalan. Menatap jalanan lengang, kemudian berdiri lagi dan berhadapan dengan Naina.
Baru kali ini sepanjang Naina mengenal pria itu, wajah Jemi begitu serius di depannya.

"Jangan-jangan... Lo juga yang kemaren datang ke Kost an?" Naina memasang tatapan menyelidik, dan mencari kebenaran dari wajah Jemi. Tak harus menunggu lebih lama lagi, Jemi pun mengangguk.

"Iya, itu Gue. Tapi please Naina, Lo harus buang jauh-jauh pensil itu," Jawab Jemi.

Dari ucapan dan raut muka nya saat itu, nampak sekali tak ada tanda-tanda pria itu tengah membuat lelucon.

"Biar apa? Biar Lo bisa memungutnya, dan Lo pamerin ke seisi kelas? Begitu?" umpat Naina sambil menyilang dada. Jemi menggeleng keras.

"Oke, Gue tahu kalau Gue emang sering jahilin Lo. Gue sering ledekin Lo dan lain-lain. Tapi soal ini, Lo harus...

Drrtttttt Drtttttttt Drrttttttt

Ponsel Naina berdering dari dalam saku jaketnya, yang berhasil menghentikan ucapan Jemi.

"Ya..."

.............

"Antri! Bentar lagi kok,"

.............

"Ok. Bye..."

Tut tut tut

"Gue harus pergi! Kalo Lo emang pengen tuh pensil, Gue bakal kasih ke Lo. Tapi ingat, jangan pernah ganggu hidup Gue lagi," Ujar Naina tegas. Jemi mengacak-acak rambutnya sendiri. Padahal bukan seperti itu maksud Jemi, tapi Naina memang dasar keras kepala, dan terlanjur sering dibuat keki oleh Jemi.

"Lo nggak ngerti! Bukan itu masalahnya, Naina..." Suara Jemi pelan, menatap dalam-dalam wajah Naina, agar gadis itu paham bahwa yang ia katakan bukan hanya karena sekedar ia ingin merebut pensil Naina.
Naina mengibaskan tangan dengan cepat.

"Bodo amat!" Hardiknya sembari menjauh. Meninggalkan Jemi yang masih berdiri menatap punggung Naina.

'Gimana Gue jelasin sama Lo, Naina... Ah dasar keras kepala!'

Pensil KutukanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang