Sepulang Sekolah

3.1K 245 6
                                    

"Woiii!"

Naina tersentak kaget, ketika seseorang tiba-tiba menyikut pinggangnya. Gadis itu merengut, lalu meringis, menahan sakit akibat senggolan Jemi yang terlalu kencang dipinggangnya.

"Sekarang penyakit lo nambah lagi ya Nai? Hahaha... belum cukup apa, sama telmi doang!" Ledek Jemi sembari melompat dan duduk di atas meja.

Pria itu memang menyebalkan! Kelakuannya tak ada hari tanpa meledek Naina. Entah apa saja, pria itu selalu mempunyai alasan untuk meledeknya, menghinanya, atau bahkan parahnya mempermalukan Naina di depan orang banyak!

"Kenapa sih lo?" tanya Jemi. Naina hanya menggeleng malas tanpa berniat untuk menjelaskan isi pikirannya pada pria itu.

Jemi mengangkat kedua bahu, lalu beralih membelakangi Naina.
Naina, sekali lagi, sebenarnya bukan anak yang penakut, bukan juga anak yang mudah dibully. Dia sering memberontak, sering juga melawan, bahkan pernah sekali waktu, ia menampar seorang siswi senior yang membully salah satu temannya. Tapi Naina kadang terlalu malas meladeni orang-orang itu, Nai merasa otaknya terlalu cerdas jika harus memikirkan bagaimana tentang membalas perlakuan mereka kepadanya. Sama seperti saat ini. Ia lebih memilih mengabaikan Jemi, yang kini tengah menggoda Puti, teman sebangku Naina.

*

Nai tersadar dari lamunannya. Suasana sekitarnya riuh, entah sejak kapan Mr.John keluar dari dalam kelas. Entah sejak kapan juga bel istirahat berbunyi. Naina benar-benar tidak tahu apa-apa.

Naina melangkah menuju kantin, seorang diri. Memang begitu biasanya, Naina tak memiliki satu pun teman disekolah itu. Ini lebih parah dari cerita Sinetron, lebih dramatis dari serial drama Korea.

Tapi itu bukan masalah baginya, sebab Nai memang tidak pernah membuka diri kepada siapapun. Bukan karena tak ada yang mau berteman dengannya, bukan juga karena penampilan Naina yang culun.
Karena sesungguhnya, Naina adalah gadis yang modis. Cantik, pintar, dan sedikit aneh...

Naina Gutman, adalah seorang anak tunggal dari pasangan Dianne Caroline dengan Reyhandro Gutman. Seorang pengusaha Impor Ekspor benda-benda antik dengan harga - harga yang fantastis.

Sayangnya, Papa Naina meninggal dunia sejak Naina duduk dibangku SD kelas Tiga. Sementara Mama menikah lagi dan tinggal di Palangkaraya bersama keluarga barunya.
Selama itu, Naina tinggal bersama seorang pengasuh, Mbok Sarmi.

Dibesarkan oleh seorang perempuan tua yang sakit-sakitan, membuat Naina harus mengubah dirinya yang manja menjadi sosok yang lebih mandiri.
Meski kematian dan perpisahan dengan Mama adalah sebuah rahasia, tak ada yang tahu siapa yang akan lebih dulu dipanggil, tapi setidaknya, Naina hanya ingin menjadi pribadi yang baik dan menjadi perempuan yang mandiri, jika seandainya Mbok Sarmi meninggal dunia lebih dulu.

Hingga suatu hari, hal yang ditakuti seorang Naina akhirnya benar-benar terjadi. Pada saat terang bulan dan cahaya tenang, mbok Sarmi mengembuskan napas terakhirnya di atas tempat tidur, sebelum sempat ia dibawa ke Rumah Sakit.
Tangis Naina pecah ketika itu, ia kehilangan satu-satunya orang pengganti orang tuanya.

Sejak saat itu, Naina kecil bertekad, untuk tidak menggunakan seluruh aset kekayaan milik orang tuanya untuk hal yang tidak benar-benar dibutuhkannya. Naina juga meminta pengacara keluarganya, untuk memberikan rumah mewahnya tersebut, yang diwariskan papa untuk dijadikan sebagai rumah singgah bagi mereka yang kehilangan tempat tinggal.
Banyak anak jalanan tinggal disana, yatim piatu atau anak-anak broken home. Pada awalnya mama menolak keras keinginan Naina, tapi keras kepala Nai memang tak ada duanya. Gadis itu bersikukuh, hingga mau tidak mau, akhirnya Mama menyetujui. Toh rumah itu pun memang milik Naina seorang, yang diwariskan secara utuh hanya atas namanya.

Naina hanya mengambil uangnya sebatas keperluan sekolah dan makan, serta untuk membayar kontrakan seperlunya. Benar-benar seperlunya!
Naina menyerahkan segala aset milik orang tuanya ke tangan pengacara. Hingga nanti kelak, jika ia sudah dewasa dan mampu mengurusnya, barulah dia akan kembali mengambil haknya.

Untuk itulah Naina berada di Sekolah itu. Untuk belajar dan mengumpulkan prestasi sebanyak mungkin. Tak lain, agar ia bisa turut serta membangun perusahaan keluarganya. Peninggalan papa nya.

*

Sepulang sekolah, seperti biasa Naina berjalan menyusuri trotoar jalan. Sesekali kakinya tersaruk-saruk pada dedaunan kering yang menghampar disepanjang jalan. Entah kenapa, sepertinya hanya dijalan itu, jalan yang tak tersentuh pasukan Oranye. Tak seperti di jalanan kota sana.

Langit mulai mendung, awan hitam menggelayut seakan tak mampu lagi menahan air hujan dalam perut langit. Naina berjalan lebih cepat, berharap sampai sebelum hujan turun.
Dan sial sekali!
Hujan turun sebelum ia menemukan Angkot yang akan membawanya pulang ke tempat kost.
Angkot, adalah satu-satunya sarana yang digunakan oleh Naina. Ia menolak dengan tegas, ketika pengacara keluarganya memberi saran agar Nai menggunakan saja salah satu mobil milik Papa.

*

Naina menepi, disebuah ruko yang masih dalam pembangunan.
Di ujung kiri sana, terdapat sepasang kekasih yang sama-sama sedang berteduh.
Di tengah, seorang gelandangan berwajah murung sedang menghisap rokok yang tersisa separuh. Itupun sedikit basah, terciprat air hujan yang memantul dari paving block dihadapannya.
Naina merapatkan lengan didadanya. Merangkul tas ransel agar ia sedikit merasa lebih hangat.

Ada yang bergerak, dari dalam tasnya. Hampir saja Nai terlonjak dan melemparkan tasnya. Begitu ia sadar, bahwa si gelandangan tengah menatapnya, Naina menahan diri dengan mencoba menenangkan diri, menghirup napas panjang dan mengeluarkannya perlahan, jadi semacam desahan yang tertahan.
Ia mengencangkan pelukan pada tasnya. Hingga terdengar suara seperti seseorang tengah menjerit.

'Aauuuwww sakit, Naina!'

Suara perempuan. Tubuh Naina bergetar hebat, peluh mulai berjatuhan membasahi wajahnya.
Dari sana, si gelandangan masih terus memperhatikan tingkah polah Naina. Sesekali mengernyit, apa mungkin dia berpikir jika Naina sedang menahan sakit perut?

Akhirnya, beberapa menit kemudian hujan mulai berhenti turun. Naina buru-buru berlari, meninggalkan Ruko tersebut dan meninggalkan banyak tanya dikepala si gelandangan.
Tak peduli!
Nai hanya ingin segera sampai di dalam kamarnya, dan bila perlu kali ini benar-benar membakar pensil tersebut.
Setelah kemarin ia urungkan niat tersebut, karena beberapa waktu hal aneh tidak lagi menimpa dirinya. Tapi kejadian siang ini membuatnya yakin, bahwa pensil itu memang pensil terkutuk yang harus ia enyahkan, sebelum Naina menjadi gila karenanya!

Pensil KutukanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang