Jose

6 2 0
                                    

Laki-laki dengan seragam tim sepak bola sekolah berwarna putih campur keabu-abuan yang melekat ketat di badan atletisnya duduk di pinggir gerbang yang mengarah ke taman.

Punggung lebarnya menunduk lemah, kakinya yang panjang itu ia luruskan sedang kedua tangan menumpu di atas rerumputan alasnya duduk.

Puas merilekskan badan, ia mengambil kemasan air mineral miliknya yang tinggal setengah. Air itu dia habiskan sekaligus tanpa jeda.

Tangan kanannya melempar asal kemasan air mineral kosong itu ke arah tong sampah, lalu pandangan matanya ia ubah menatap ke awan-awan.

"Untung gue datang Jos," kata lelaki berseragam sama tetapi dengan nomor punggung berbeda. Setelah mengambil kemasan kosong dan memasukkannya ke tong sampah, laki-laki itu melanjutkan, "Kalau enggak lo bakal kena masalah."

Jose mengernyit ketika tangan Rama tertumpu di pundaknya sebelum lelaki itu memutuskan duduk di sampingnya.

"Dia," kata Rama sambil menunjuk seorang lelaki yang sedang tertawa di depan jendela model Swing bersama dua perempuan dan satu laki-laki.

Pandangan Jose ikut terarah ke mana tangan Rama tertuju, "Kenapa?"

Rama menatap Jose kurang dari lima detik sebelum bergidik, "Dia itu ketua tim tanaman dan kebersihan lingkungan. Jadi itulah alasan lo enggak boleh buang sampah sembarangan di sini, dengan radius yang dekat gini ke dia. Lo kena masalah kalau sampai dia tahu."

"Oh."

Mulut Rama sedikit ternganga, "Cuma oh?"

"Jadi?"

"Ya gitu juga enggak apa-apa sih, biarpun suatu saat lo bakal tahu dia gimana," balas Rama sambil sedikit menaikkan bahu.

Mau tak mau Jose memandang lagi sosok yang menjadi bahan pembicaraannya bersama dengan Rama, kali ini dengan lebih serius. "Dia ketua yang bertanggungjawab," kata Jose menunjuk laki-laki bersenyum lebar yang kini sedang mengusap kaca dengan telunjuk kanan, meneliti kebersihan jendela dari debu.

Rama mengangguk, tapi matanya bersinar prihatin, "Iya dia bertanggungjawab, tapi seram."

"Maksudnya?"

"Hati-hati di balik senyumnya Jos. Dia kelewat ramah."

"Apa salahnya?" Jose menjadi tidak mengerti. Dia memandang sekelilingnya yang memang bersih tampak terawat sebelum menatap Rama.

"Gue pernah satu kelas sama dia. Dia memang lumayan terkenal karna sikapnya ramah, disenangi. Tapi sisi seramnya, lo tahu?"

Jose otomatis menggeleng, atensinya tertuju pada dua arah. Satu kepada orang yang mereka bicarakan, satu lagi pada Rama yang kini terlihat paranoid baginya.

"Dia bisa bikin orang terintimidasi biarpun senyum ramahnya itu enggak ngilang-ngilang. Senyumnya bisa buat luka, Jos. Yaa, gue mengakui eksistensi dia memang pantas buat jadi ketua tim tanaman dan lingkungan, lo liat aja gimana ademnya ini area."

Jose mengangguk setuju, "Tapi orang-orang enggak takut berkeliaran sama dia," tanggap Jose.

Rama menjentikkan jari, "Yup, itu poinnya. Selama lo enggak pernah bersinggungan dengan hal-hal yang merusak kenyamanannya. Seperti, enggak buang sampah sembarangan kayak tadi."

"Oke, makasih Ram. Itukan yang lo tunggu dari tadi," balas Jose seraya menaikkan sebelah alisnya.

Rama tertawa, lantas bangkit berdiri sambil menyugar rambutnya. "Tapi gue enggak mengada-ngada kenyataan tentang dia kok Jos. Mau cewek atau cowok dia gak bakal undur. Dan lagi dia udah lama sabuk hitam loh. Pokoknya hati-hati sama senyum menawan ala dia, karna gak dipungkiri banyak yang udah tertawan."

"Oke deh, bye keeper," kata Rama lagi sebelum berjalan pergi dengan meninggalkan Jose yang sedikit tertegun.

Mata Jose menatap rerumputan di bawahnya. Bagaimanapun Jose sadar kalau Rama sedang menghibur.

Memang Rama tidak membahas terus terang, bahkan mereka cenderung membahas topik yang jauh berbeda. Tapi, kata terakhir sebelum lelaki itu pergi seakan menyatakan dia juga tak setuju dengan keputusan pelatih.

Bibir Jose menipis, napasnya berubah berat. Pelan-pelan ia bangkit berdiri di tengah badan yang rasa-rasanya lunglai.

"Ketidakadilan bukan baru terjadi kali ini," bisiknya seringan angin sore itu.

CeriteraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang