Arum

9 2 0
                                    

Langkah kaki terburu-buru, bunyi ketikan pada keyboard laptop, serta teriakan wakil ketua Jurnalistik memperkeruh suasana.

"Mana laporan kamu, Arum?"

"Udah saya simpan di folder minggu ini, kak."

Perempuan itu mendengus sambil tetap meneruskan ketikannya, "Yang mana satu?"

"Oh! Panggil Neta dulu gih Rum," celetuknya, Arum harus terinterupsi mengambil folder. Belum juga Arum sampai di muka pintu Neta sudah menampakkan diri, senyum cerah seperti biasa ia bagi pada Arum.

Mau tak mau Arum balas tersenyum, apalagi Neta menepuk bahunya supaya ia tampak sedikit bersemangat.

"Neta, ini bener kamu udah dapat laporan dari Sebastian?"

Mendengar namanya disebut Neta menoleh, ia memberi senyum cerah sebagai balasan tanpa mempedulikan kening Arum yang tambah berkerut.

"Net," panggil Arum linglung.

Neta mengedipkan matanya dua kali, bertindak seolah dia baru melihat keberadaan Arum, "Ya? Eh, entaran deh kita ngomong-ngomong, kayaknya kak Del ada perlu sama gue."

Arum tersenyum tanpa mau melontarkan argumen, diam-diam dia menarik napas dalam. Ini mungkin sudah kelima kalinya Neta mempermainkan perasaannya.

"Bagus." Komentar Delita pada Neta dapat didengar telinga Arum dengan sangat baik pula, sampai-sampai hatinya tambah pedih.

Kaki Arum membawanya pada Raldi sang ketua yang sibuk menyusun kertas-kertas hasil catatan kasar. Tanpa diminta ia membantu Raldi yang kerepotan mengurus semuanya sendiri.

Ketika Arum nyaris menyerahkan pada Raldi tumpukan kertas ketiga yang didapatnya, tangannya berhenti bekerja, segera ia letakkan kertas itu di meja lalu kakinya mengambil langkah untuk meninggalkan sang ketua.

"Kenapa?" sergah Raldi. "Lo takut dibilang nyari muka lagi?" tebaknya santai, bahkan masih dengan tangan yang berkutat pada kertas-kertas.

Arum diam, tidak memberi tanggapan, malah berjongkok mengambil beberapa kertas yang terjatuh di bawah meja.

"Sampai kapan Arum masih di sini? Kita enggak bisa rekrut dia jadi anggota kalau hasil kerja enggak tepat, bahkan deadline selalu lewat."

"Tapi kakak kan tahu, wawancara sama Niko itu susah-susah gampang."

"Sudah jadi program dari jadwal kita Net. Makanya bikin sesi wawancara yang menarik, jangan ngebosenin. Ah ya, bilang sama Arum supaya dia wawancara Huang sekalian."

"Kak! Kakak Huang bukan mudah ditemuin," komentar Neta.

Garis wajah Neta keras, tangannya berhenti mengetik. "Kalau mau bertahan, dia harus kerjakan. Lagian Huang masih di bumi, bukan planet lain."

Raldi memperhatikan bagaimana Arum terdiam dengan pandangan kosong pada posisi yang masih berjongkok dan tangan menggenggam kertas yang tadinya berserakan di lantai.

"Jangan takut. Tunjukin seberapa berbobotnya elo dibanding dia," ujar Raldi seraya setengah membungkuk mengambil kertas dalam genggaman Arum.

Raldi berdeham keras, "Jangan ambil keputusan tanpa berbagi dulu Del, kalau gitu sekalian aja lo jadi ketua."

"Gue gak sadar lo di situ, sorry."

"Biarpun gue enggak ada di sini, bukan berarti bisa sembarang," tegas Raldi membuat Delita jadi serba salah sedang Neta menggembungkan pipi.

Arum segera bangkit berdiri, mata sendunya membuat Raldi semakin simpati. "Makasih Net," lirihnya miris. "Kalau memang saya enggak pantas jadi anggota, kakak bisa bilang langsung ke saya kak," ujar Arum mantap pada Delita dengan mata yang saling bersitatap.

Delita membuang pandangnya pada Raldi yang melempar tatapan keras, semakin mengkerut ia.

Karena tidak satupun menimpali kalimatnya Arum memutuskan pergi, bahkan baru saja ia melangkah sedikit dari muka pintu maka ruangan Jurnalistik larut dalam kesibukan lagi.

Seolah menyatakan kalau keberadaan Arum Yeko memang tidak dibutuhkan.

CeriteraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang