Ceritera 3

3 1 0
                                    

Efrad menyugar rambutnya kasar. Bukan sekali dua kali kalimat R.H melayang-layang di benaknya. Ia akui apa yang R.H katakan benar, dan Efrad belum sepenuhnya siap menerima kemungkinan terburuk itu.

Apa katanya? Kalian akan saling melukai? Asahan cerita kelam? Cih! R.H memang tidak tanggung-tanggung menampar mereka dengan kalimatnya itu.

Di sinilah Efrad pagi-pagi buta berdiri tanpa memakai kacamata di persimpangan jalan.

"Hai. Udah lama?" Efrad melirik jam tangannya sebelum menatap lawan bicara, "Belum," balasnya pendek.

Kara membungkus lehernya dengan syal hijau lumut tebal, udara pagi ini benar-benar menusuk kulitnya. Dia kedinginan. Bagi Kara berhadapan dengan panasnya wajan jauh lebih baik dari udara pagi. "Maaf soal yang waktu itu."

Sesuai dengan dugaan Efrad, kalau Kara Yemima bukanlah pribadi yang keras. Gadis itu hanya butuh penyesuain diri. "Bukan masalah," katanya sambil melirik Kara yang berdiri tepat di sampingnya.

Sarung tangan hitam berada tepat di depan wajah Kara. "Buat gue? Makasih." Kara yang sangat kedinginan itu memakai cepat sarung tangan yang dipinjami Efrad. "Kenapa lo bawa motor? Bukannya kata Niko kita enggak boleh bawa kendaraan ya, kita itu kan pergi bareng. Trus lo parkir di mana coba?"

"Cuma sampai di sini Kar, gue bukan bawa motor ke Bogor. Ada di parkiran belakang sekolah."

"Lo yakin aman apa?"

Efrad mengangguk tegas, dan Kara tidak perlu meragukan itu lagi. Sudah cukup dia menerima tatapan tajam dari Efrad. Kara tidak mau menambah rusuh keadaan. Lagi pula kalau dilihat-lihat Efrad bukanlah sosok yang gampang untuk dijadikan musuh.

Laki-laki berpostur tinggi, bahu tegas, dan mata ramah yang selama ini bersembunyi di balik kacamata memilik hati baik dan bukan tipe pendendam. Kara yakin mengingat bagaimana laki-laki itu tetap perhatian meminjamkannya sarung tangan.

"Kita ke rumah Niko." Kara tersentak, dipandanginya Efrad yang masih fokus menekan-nekan layar ponsel. "Kenapa?" tanyanya bingung.

"Dia butuh sedikit bantuan."

Kara menatapi rumah berdesain lengkung itu lama sampai tepukan di pundak menyadarkannya. "Ayo masuk, dia udah nunggu," tutur Efrad cepat, dengan langkah panjang mendahuluinya. Kara berjalan di belakang, sambil memandang kolam di sisi kanan rumah yang dilapisi batu andesit.

"Nah ini Pi! Ini temen-temen aku udah jemputkan." Efrad dan Kara sontak pandang-pandangan, baru saja mereka memijak teras sudah disuguhkan dengan pemandangan seorang bapak berumur setengah abad tengah duduk di kursi kayu sedang menggoyangkan telunjuk kanannya ke kanan-kiri.

"Yasudah Nicholas, sekalian teman-teman kamu diantarkan ke Bogor sama pak Weno. Lagian untuk tugas karya wisata, 'kan?"

Niko meringis antara kesal pada papinya, dan salah tingkah ketika Efrad dan Kara menatapnya aneh. "Pi, Nicholas itu udah gede, tahu bela diri lagi. Papi jangan bikin malu aku ah di depan temen-temen," sungutnya seperti anak-anak.

Pria berhidung mancung itu mengerutkan dahi, "Justru karna ini pertama kalinya kamu bawa temen ke rumah, Papi mau kasih kesan yang baik lah!" Pria itu berdeham, "Kalian tahu tidak, Nicholas ini anak saya satu-satunya—

"Papi! Papi nyakitin hati kak Manasye SAMA AJA papi nyakitin hati Nicholas!" Seusai berkata demikian Niko mengambil ransel di bawah kakinya lalu berlari pergi, tidak mempedulikan sama sekali seruan sang ayah yang berulangkali memanggil namanya.

"Ah, om, saya akan perhatiin Nicholas sebaik mungkin," tutur Efrad pelan sebagai kalimat pembuka ancang-ancang sebelum mereka pergi menyusul Niko.

Pria itu mendesah, "Tolong ya. Awasi Nicholas untuk saya," kata pria itu lesu.

Hentikan sekarang!

Segera sapu jejaknya,

atau semua berubah rapuh.

Astaga! Refleks tangan Efrad terkepal. Kenapa bisa kalimat itu tiba-tiba muncul di pikiran dan mengejeknya? Jadi ini yang R.H maksudkan, ada hal-hal yang akan terkelupas, kalau mereka tidak siap maka mereka akan saling melukai pada akhirnya.

Dan sudah terlalu jauh bagi Efrad untuk bisa menghindar.

Nicholas tersenyum. Sekali lagi, Nicholas tersenyum lebar! Kara tidak bisa percaya ini, kepalanya bahkan menggeleng tanpa sadar.

"Maafin papi gue ya," katanya dengan sorot menerawang. "Tolong yang tadi itu dilupain," lanjutnya, entah kenapa kalimat itu menusuk ulu hati Kara.

"Arum sama Gane udah nunggu di stasiun." Niko mendekatkan layar ponselnya pada Efrad kemudian pada Kara, menunjukkan ruang chat antaranya dan Arum.

Tatapan Niko padanya sulit Kara mengerti. "Lo yakin bolos hari ini Kar? Gimana kalau lo dipecat jadi ketua?"

"Gue udah minta izin kemarin malam. Gue bilang tangan gue cedera."

"Seriusan?"

Kara mengangguk, "Memang tangan gue kena parutan semalam, waktu latihan."

Efrad tetap diam, semua perkara-perkara ini bergumul di otaknya. Ah iya bagaimana dengan Gane? Gadis itu sangat dibutuhkan hari ini, mengingat penataan sudah dimulai untuk acara lusa nanti.

Seperti yang Niko katakan tadi Arum dan Gane sudah menunggu di stasiun. Kedua gadis itu melonjak dari duduk ketika menemukan Kara, Niko, juga Efrad datang terburu-buru.

"Tunggu," cegah Efrad mencekal tangan Gane, mereka berdua berjalan paling belakang sedang yang lain siap-siap menaiki kereta.

"Siapa yang gantiin ngedekor hari ini?"

Gane tersentak, matanya menatap Efrad penuh kecemasan. Jujur, Gane tidak tahu mengapa dia bisa sekhawatir ini ketika manik itu menatap miliknya. Efrad menghela napas diam-diam. "Jangan Ganesra, kalau pertaruhannya terlalu berat. Urusan gue sama Niko untuk event lusa nanti udah beres, sedangkan Arum enggak terlibat apa-apa, trus Kara udah ada izin. Gimana sama anak dekorasi?"

Tiba-tiba saja Gane menggeleng-geleng kepala menahan geli, apa dia tidak salah dengar kalau Efrad mencemaskannya? Oh iya, Efrad kan bukan mencemaskan dia seorang. "Enggak masalah, gue udah ganti jadwal sama anak lain. Gue bakalan lembur dua hari."

Wajah Efrad mengeruh, "Lo mau lembur dua hari? Kena—"

Ucapan itu terpotong begitu saja ketika Gane menarik lengan bawah jaket Efrad. "Ada yang lebih gue khawatirin daripada itu."

Mata Gane bergerak tidak fokus, "Gue..., belum pernah naik kereta. Dan gue takut mabuk di jalan," katanya takut-takut. Gane semakin bingung ketika Efrad tidak merespon kalimatnya, laki-laki itu malah menurunkan ransel dan mengambil sebuah kemasan mini dari anak ranselnya.

"Ini ada solusinya," tutur Efrad seraya menunjukkan cairan anti-mual dan menyerahkannya ke dalam tangan Gane.

"Kalian! Astaga cepetan nanti enggak kebagian tempat duduk!" Niko berteriak dengan ekspresi kesal, keberangkatan mereka jam 06.15 dan lihat, dua anak remaja itu malah berdebat di luar, kan bisa dilanjut di dalam daripada mereka harus ketinggalan kereta nantinya. Tentu saja Niko mengerang sebal.

Benar saja kereta sudah padat dengan penumpang. Kursi yang seharusnya menjadi milik Niko kini ditempati Gane atas permintaan Niko, dan lagi Efrad menatapnya tajam kala ia ingin menolak.

Gane duduk dalam diam, baru saja kereta berangkat rasa pusing menggerogoti kepala. Kara meletakkan tupperwarenya di pangkuan Gane, "Minum dulu Gan, Efrad bilang lo harus minum obat anti-mual sekarang sebelum muntah."

Ternyata Kara tidak berhenti bicara sampai di situ, "Dia perhatian ya, tadi gue dipinjemin sarung tangan," katanya sambil menunjukkan kedua tangan yang dibalut sarung tangan hitam.

Ah, seharusnya obat anti-mual ini sudah bekerja. Kenapa Gane justru makin tambah pusing?

CeriteraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang