Ceritera 4

5 3 0
                                    

Mata saling bertemu berusaha mengirimkan sinyal tersirat bahwa misi ini tidak akan gagal.

"Jadi sekarang kita pencar di gunung Pancar?" tanya Niko geli seraya merentangkan kedua tangan menikmati sejuknya alam, padahal mereka baru saja melewati gerbang Taman Wisata Alam Gunung Pancar.

"Hng?"

"Jangan."

"Ya?"

"Boleh."

Kini pusat perhatian bertumpu pada Kara, sebab gadis itu seorang yang mengiyakan tawaran Niko. "Loh, gue salah ngomong?" tanyanya linglung.

Efrad manarik napas kemudian mengangguk berat. "Jangan jalan sendiri, belum ada kan kita yang pernah ke sini sebelumnya? Biarpun makan waktu tetep aja kita cari Jose bareng-bareng. Jangan ada yang sampe ngilang atau jalan sendiri karna banyak risiko yang nunggu kita sekarang, maupun nanti. Please, setuju sama kata-kata gue."

Kempat orang itu tidak berkutik, kalimat Efrad bagaikan alarm, mengingatkan bahwa perjalanan ini terlalu rumit, jauh dari kata tamasya.

Niko memimpin jalan sedang Efrad berada di urutan paling belakang dan para gadis berada di tengah-tengah. Mereka menemukan tempat yang memang sesuai dengan puisi karya Jose, tapi masih belum menemukan di mana Jose berdiam.

Pohon-pohon menjulang, alam terbuka, langit yang berteman dengan awan, hijau yang bertebaran dan merentang. Sama persis!

Arum menarik napas kuat, seolah-olah dia tidak pernah menghirup udara sebelumnya. Tapi suasana di tempat ini menenteramkan perasaannya, dan pemandangan yang diserap matanya sungguh membuat Arum ingin berlari-lari mengitari setiap sudut sampai dia kelelahan. Lalu ketika dia lelah, dengan senang hati ia akan membaringkan badannya di atas rerumputan, memadukan diri ke dalam tanah yang dibalut kehijauan kemudian menatapi langit sang kanvas yang dengan suka hati membubuhkan awan di atasnya.

Sebab mereka akan berlaku adil pada Arum, mereka tidak akan menyembunyikan keindahan itu darinya.

Mungkin Arum akan melihat awan yang membentuk banyak hal, menarik daya imajinasinya secara tidak sadar.

Kura-kura.

Bunga.

Lumba-lumba yang bermain bola.

Pita.

Bentuk cinta.

Ah, sungguh menyenangkan kalau Arum bisa melakukannya, tentu dia akan membiarkan dirinya terjebak di alam ini. Sampai mungkin hujan datang mengganggu aktivitasnya, ataupun malam menyergap menyuruhnya pulang.

Ketika langkah mereka berhenti di batu besar, Arum terkesiap, ia benar-benar baru menyadarinya! Tidak salah lagi! Arum kini memahami apa yang Jose maksudkan di puisi itu.

"Arum! Kok bisa nabrak?!"

Niko yang mendengar pekikan Gane menoleh, melangkah lebih dekat. "Batu segede ini, masa bisa lo tabrak?" celetuknya heran.

"He he he, maaf," balas Arum singkat dengan senyuman lembut. Niko mengedikkan bahu, geleng-geleng kepala untuk dua detik kemudian menaiki batu besar di depannya.

"Ef, Gan, Kar, cobain naik nih kayak gue!" Wajah Niko berubah antusias serta tangannya segera melambai cepat menyuruh naik.

"Sorry nih Ar, bukannya enggak mau ngajak tapi siapa suruh lo nabrak batu segede gajah gini, enggak bisa naikkan lo akhirnya," sambung Niko jahil, dia tertawa keras.

Gane menepuk bahu Arum ketika rautnya berubah agak muram. "Udah tenang aja mending kita ke sana tuh, ke pohon itu," ucap Gane, padahal dia sendiri tidak tahu cara memanjat pohon.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 07, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

CeriteraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang