Raven

5 2 0
                                    

Jas laboratorium masih melekat di badan, lengkap dengan sarung tangan dan masker pada ketiga anak laki-laki yang diberi kepercayaan untuk melakukan penelitian mandiri.

"Gue cabut bentar Ven, ada yang mau gue lihat di ruang Osis." Ketika kepala Raven mengangguk Sebas gesit melepas perlengkapan laboratorium pada tubuhnya, kemudian melenggang pergi.

"Fokus Zkia!"

Suara Raven memecah keras kesenyapan. "A-ah ya," balas Zkia gugup, tangannya masih gemetar. Gelas ukur hampir saja mengadu lantai kalau Raven tidak sigap menangkap. Sedikit cairan kimia tertumpah di sepatu Hizkia.

Raven menghela napas kasar, "Gue yang beresin sisanya. Lo keluar dulu Zki. Cepat ganti sepatu," titahnya.

Tanpa menjawab Hizkia meninggalkan Raven, laki-laki itu kini membereskan semuanya sendiri, mulai dari mencatat hasil penelitian, menyimpan peralatan dan memastikan jumlahnya di ruang gudang, sampai pada memeriksa air, listrik, gas.

"Oh, lo masih di sini?" Raven menoleh sekilas pada Hizkia yang bersandar pada dinding sedang ia sendiri mengunci pintu laboratorium.

Hizkia menaikturunkan alisnya, mulutnya membuka kaku, "Ven, lo udah cuci tangan?" Raven mengangkat kedua bahunya santai menanggapi. "Maaf, gue kurang istirahat semalam," sambungnya.

"Itu bukan alasan Zki."

Ia memandang lantai, pundaknya lunglai. Dia bahkan takut untuk menanyakan apakah tangan Raven perih terkena zat itu atau tidak sangkin merasa bersalah.

Mata Raven yang tadinya menatap jauh kini memperhatikan Hizkia lekat, "Semalam lo tidur berapa jam?"

"Empat setengah. Lo?"

"Tiga."

Hizkia tambah merasa bersalah, "Udah fix di Oxford?" Raven menaikkan sebelah alis, tersenyum tipis.

"Bukannya lo mau di Pennsylvania?" Mata sipit Raven telihat mengeruh, "Kita enggak bisa maksa ekspetasi jadi realita."

Hizkia segan untuk membuka percakapan lagi, bunyi kaki menapak serta seruan dari arah lapangan sepak bola yang menemani perjalanan keduanya menuju ruang profesor.

"Zkia, lo duluan aja."

Mata Hizkia bertanya."Gue mau perhatiin mereka sebentar di sini," jelas Raven sambil menunjuk lapangan sebelum temannya itu bertanya.

"Oh oke. Gue juga mau lihat-lihat."

"Emang lo tahu apa yang mau lo lihat?" Hizkia bahkan tidak yakin apakah Raven bertanya atau sekedar berkata hingga ia tidak berusaha untuk menjawab.

Posisi keduanya terlindung di bawah pohon, bahkan ditemani oleh angin sepoi-sepoi yang menyejukkan.

Raven menghembuskan napas lelah, matanya merasa bahwa pemandangan di depan benar-benar tidak menyenangkan untuk diperhatikan.

"Yuk, cabut."

"Kok udahan?"

"Waktu kita enggak banyak Zki." Hizkia langsung menurut, mengikuti Raven yang sudah mengambil langkah lebih dulu.

"Lo bisa menikmati keadaan di waktu yang serba sempit Ven? Kalau gue sih, terkadang," celetuk Hizkia.

"Gue? Enggak selalu," jawabnya pendek, sambil melonggarkan dasi. Entah mengapa Raven merasa ada perasaan sesak di tubuhnya.

"Kalau liat orang main bola kayak tadi, lo bisa nikmati?" tanya Hizkia lagi. Sejujurnya Hizkia bukan anak yang banyak bicara, tapi ketika sudah berhadapan dengan Raven, apalagi dalam kondisi Sebastian yang tidak ada maka laki-laki berkulit sawo matang itu jadi banyak bicara untuk mengimbangi Raven.

Hal semacam itu terjadi bukannya settingan tapi terdorong sendiri dari hati Hizkia. Sebab bagaimanapun juga Raven lebih pelit ngomong dibanding Hizkia.

Dan sekalinya Raven berbicara panjang, maka butuh waktu sehari untuk mengerti apa yang laki-laki itu maksudkan.

Maka dari itu, Raven yang pelit bicara, itu lebih baik.

Raven tertawa kosong, hingga Hizkia tidak ingin mendengar tawa yang seperti itu lagi. "Apa yang bisa dinikmati dari timbangan serong?"

Hizkia terdiam, matanya menerawang sedang otaknya berputar mengaitkan segala sesuatu untuk mendapat makna.

Satu lagi, Raven yang misterius, terlalu sulit dihampiri.

CeriteraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang