Nicholas mendecakkan lidah, aura tidak puas menguar di seluruh tubuhnya. "Petugas piket?" tanyanya di depan kelas, gerak tubuh Nicholas tidak cocok dengan senyum yang terukir di wajahnya.
"Biar gue aja," kata ketua kelas berjalan mengambil sapu, "lo enggak usah repot-repot urus kelas kita kok Nik," sambungnya pelan, seperti mencicit.
Nicholas menyengir lebar, "Oh ya?" ujarnya, terselip nada tidak yakin. Sebelum menghampiri mejanya Nicholas menyempatkan menepuk ringan bahu Indito. Tentu Indito bergidik ngeri, dia cepat-cepat menyapu kelas yang sebenarnya lumayan bersih.
Tapi versi bersih menurut Nicholas tiga kali lipat dibanding keadaan yang sekarang, bahkan Indito tak perlu takut terkena kuman jika ia berguling-guling di lantai kelas sekalipun tanpa baju.
Nicholas tidak mengacuhkan suasana kelas, ia asik membaca buku yang baru dikirimkan kakaknya lusa lalu. Mana dia tahu kalau semua anak laki-laki selain dia tidak lagi di kelas.
"Mana teman yang lain Nic?"
Buru-buru disimpannya buku tersebut di dalam laci. "Keluar kali pak," sahutnya cepat. Guru tersebut mengerang, "Bapak tahu, tapi di mana spesifiknya? Sana cepat cari mereka. Kalian ini, bapak telat sebentar aja udah gini, hadeh!" cetusnya kesal.
Nicholas balik duduk di tempatnya lalu menatap bosan guru olahraga mereka, pria itu sedang mendumel pada anak laki-laki yang bermain sepak bola di lapangan tanpa izin darinya.
"Sini kamu Niko," panggilnya kencang.
Meski malas senyum Nicholas mengembang, "Saya pak," katanya tak gentar, ia berdiri di samping pria berumur 37 yang memiliki tinggi setara dengannya.
"Nah kamu jitak kepala ketua kelas kalian. Masa dia berani ngajak main bola tanpa izin saya!" Indito merinding. "Jitak yang kuat Nik," kata guru itu lagi sambil geleng-geleng kepala tak percaya.
Tapi yang Nicholas buat malah sebaliknya. Mata guru berpangkas plontos itu membulat besar. "Kuat, atau kamu yang malah dijitak sama Indito!"
Lagi, Nicholas mendaratkan kepalan tangannya ringan. Menarik napas panjang guru tersebut menarik kerah baju salah seorang anak laki-laki yang masih berdiri di depan kelas.
"Kamu," katanya kesal, "jitak kepala Nicholas kuat. Kasih contoh sama dia." Laki-laki itu menatap ragu, ia tahu seberapa besar kemampuan Nicholas, tapi ia takut juga guru olahraganya makin mengamuk.
Indito menatap ngeri ketika tangan Rafli mendarat kencang di kepala Nicholas, entah dia harus bersyukur karna posisinya digantikan atau mengasihani Rafli. Tapi bukan hanya Indito sendiri yang merasakan aura aneh itu, seluruh kelas juga. Rafli menatap naas kepalan tangannya yang kini membuka lemah.
Senyum lebar Nicholas terpampang jelas. Guru olahraga itu akhirnya mengangguk kemudian menginstruksi mereka duduk ke tempat masing-masing. Nicholas menyugar rambutnya, ia sedikit meringis lalu mengambil langkah panjang kembali ke bangkunya.
Di lain sisi Rafli menggigil takut diapa-apakan Nicholas ketika pelajaran mereka nanti usai, sedang anak lelaki yang lain menepuk bahu Rafli menghiburnya dari kesalahan fatal yang sudah ia buat.
"Ah ya elo," kata Nicholas ketika bel istirahat berdering, "hiduplah dengan tenang, sampai kita jumpa di matras yang sama," ujarnya tersenyum cemas kemudian beranjak meninggalkan kelas.
Indito mengerang, menggaruk rambutnya frustasi sedang matanya menatap Rafli tajam, "Dia SABUK HITAM, Li! Lo pikun ya?!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Ceritera
KurzgeschichtenBuku tua itu mempersatukan ketujuh anak muda yang menuangkan gelora rasa dalam tulisan. Mereka mengguratkan rahasia dalam kata-kata, menjadikan ruang, buku, dan pena saksi dalam keheningan. Bahkan mungkin merentangkan rahasia terkelam. Serta setiap...