Indonesia

193 22 12
                                    

Setelah tinggal di Australia selama dua tahun, aku harus kembali beradaptasi dengan suhu di Indonesia. Keringatku mengalir dengan derasnya begitu aku keluar dari pesawat dan menginjak permukaan kota Jakarta, Indonesia. Oh, aku merindukan negeri ini.

Luke melakukan hal yang sama sepertiku, yaitu melepas jaket dan dia kini mulai mengeluh tentang panasnya kota Jakarta. Aku bisa melihat jika kulit dan daun telinganya sudah memerah karena panas. Ya, ini adalah kali pertamanya Luke datang ke Indonesia. Tentu saja dia akan merasa kepanasan.

Aku tidak mengumbris keluhannya dan justru melangkahkan kakiku menuju ke dalam gedung bandara untuk mengambil bagasi. Hanya satu koper besar berisi oleh-oleh yang kumasukan ke dalam bagasi, sedangkan pakaian kubawa menggunakan ransel yang ku gendong—begitu juga dengan Luke.

Aku memang membawa sedikit pakaian karena aku masih menyimpan pakaia lamaku di rumah. Sedangkan Luke, dia bilang bawaan laki-laki tidak perlu sebanyak dan seribet perempuan. Jadi aku hanya menuruti perkatannya.

Begitu aku mendapatkan tasku, aku segera menuntun Luke menuju loket Damri. Ya, sebelumnya aku sudah menjelaskan pada Luke bahwa jarak Jakarta dengan kampung halamanku cukup jauh sehingga kami harus melanjutkan perjalanan melalui toll yang akan mengambil waktu lebih lama atau menggunakan jasa kereta api dengan waktu yang lebih singkat. Luke tidak keberatan dengan dua pilihan itu, tapi aku yang keberatan. Aku tidak mau berlama-lama di toll karena bokongku akan sangat panas dan lelah jika berlama-lama di toll. Jadi Luke menuruti keinginanku untuk menggunakan jasa kereta api.

Aku menyuruh Luke untuk berdiri di depan pemberhentian bus Damri dan menjaga koper oleh-olehku, sedangkan aku mengantre untuk membeli karcis bus Damri dengan tujuan Stasiun Gambir.

Kami menunggu bus datang sembari mengobrol dan  sesekali aku mengeluh karena perutku mulai lapar, Luke menawarkan untuk makan terlebih dahulu di bandara tapi aku menolaknya. Aku memilih untuk makan di stasiun Gambir karena aku takut jika bus akan datang disaat aku sedang makan. "Are you sure, dear?" Tanyanya. Aku mengangguk, meyakinkan dirinya.

Setelah sepuluh menit menunggu, bus Damri pun akhirnya datang dan kami segera masuk dan memilih kursi di dekat pintu agar kami bisa keluar dengan mudah dan cepat.

Selama di perjalanan Luke terus menerus terpukau dengan pemandangan kota Jakarta, dia juga terpukau dengan baiknya orang-orang Indonesia yang menawarkan berbagai macam minuman pada para pengendara di jalanan. "No, Luke. They're not offering, they're selling the drinks." Kataku dan dibalas dengan ekspresi terkejut darinya.

"What?! Are you sure? I've never seen anything like this in Australia." Ucapnya sembari kembali memalingkan wajahnya ke jendela. Ya, dia memilih untuk duduk di dekat jendela agar dia bisa melihat ke luar dengan leluasa. "It's Indonesia, Luke. Not Australia. It's different. People in here are not disciplined. And don't ask me why!" Ucapku sebelum Luke kembali bertanya. Well, Luke adalah sosok yang cerewet.

Berbicara soal Luke... dia seorang pria dengan postur tubuh yang tegap, tingginya menacapai 193 cm dengan rambut blonde, mata berwarna biru—sebiru langit cerah. Dia berpenampilan seperti layaknya seorang bintang punk rock. Lihat saja apa yang dia pakai saat ini, kaos hitam Nirvana dengan skinny jeans hitam dan juga sepatu boots hitam. Oh, dan jangan lupakan lip piercing nya yang berada di bagian kiri bibir bawahnya. Sangat punk rock bukan?

Tidak, jika kalian berpikir dia adalah anak nakal maka kalian salah besar. Walaupun dia bergaya punk rock, dia tidak pernah menyakiti seseorang. Dia memperlakukan seorang wanita layaknya putri. Bahkan walaupun dia dibesarkan di Australia—dimana para remaja sudah biasa melakukan hubungan sex diluar nikah, Luke tidak pernah menyentuhku atau mencium bibirku. Dia memperlakukanku layaknya ratu dan dia selalu menjagaku selama di Australia.

Lukman 2020Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang