Perjalanan

127 19 10
                                    

Sebuah tangan terulur untuk meraih koperku dan tangan lainnya mengangkat tanganku untuk digenggam. Isakanku terhenti dan mendongakan kepala untuk melihat sosok itu. Mataku membulat, sesuatu yang panas mengalir di dalam diriku. Air mataku kembali mengalir dengan deras. Kini p3rasaanku dipenuhi dengan rasa senang, terharu, lega, dan juga merasa bersalah. Aku langsung memeluk sosok itu, memeluknya dengan erat dan menenggelamkan wajahku pada dadanya.

"Abel, why are you crying?" Dia bertanya dengan sedikit panik, kedua tangannya mencoba mendorong tubuhku pelan agar dia bisa melihat diriku dengan jelas.

"I'm sorry, Luke. I can't take care of you like you take care of me. Your ID and your passport are still with me. I'm afraid, i thought-" Aku berkata dengan terbata-bata, rasanya begitu sesak untuk mengrluarkan semuab pemikiran dan perasaanku yang mengganjal di kepala dan hatiku.

Luke mengerutkan dahinya. "Don't say that. I'm here now. I'm okay, you're okay, we are okay. You take care of me perfectly and you always do. Don't cry, sweet cherry pie." Kini kedua tangannya membalas pelukanku, bahkan dengan pelukan yang lebih erat. Air mataku masih mengalir, begitu juga dengan cairan kental yang sudah tak terbendung di hidungku.

"Just stop crying, okay?" Ucapnya sebelum menarik ujung kaosnya untuk menyeka air mata dan ingusku-membuat perut putih dan buncitnya terekspos. "Let's find our seats." Aku mengangguk.

Aku menoleh ke sekeliling untuk mencari tau di gerbong berapakah kami sekarang. "In what carriage is this?" Tanyaku.

"It's fifth. And in what carriage are we should be?" Tanyanya. Aku merogoh sakuku dan mengeluarkan tiket. "We should be in third carriage." Ucapku sebelum memberikan dua tiket itu pada Luke. Luke menerimanya sebelum akhirnya kami pergi menuju gerbong tiga dan mencari tempat duduk kami.

Setelah menemukan tempat duduk, Luke segera meletakan tas-tas kami ke kabin yang berada di atas kepala kami. Lalu aku membiarkannya memilih duduk berada di dekat jendela. Tempat duduk kami berhadapan dengan dua orang pria yang tampak seperti seorang mahasiswa yang juga sedang berlibur.

"My belly hurt from running." Rengekku pelan pada telinga Luke. "Mine too, do you want some water?" Aku menggeleng. Lalu aku hanya menutup mataku dan menyandarkan kepalaku di bahu Luke sembari mengikuti irama jantungku yang masih berdegub kencang. Lebih baik seperti ini daripada harus merasa canggung duduk berhadapan dengan dua pria itu yang menatapku dan Luke terus menerus. Mungkin karena Luke bule dan sangat tinggi.

Aku juga sedang menikmati kedua kakiku yang menegang akibat lari. Aku bisa merasakan tangan Luke yang sedang membelai dahi dan poniku-dia mengelap keringatku. Aku membalasnya dengan mrncium pundaknya yang basah dan lengket akibat keringat. Mungkin kalian akan menganggap bahwan ini menjijikan karena memang begitu adanya, tapi aku tidak merasa begitu. Aku tidak merasa jiji dengan keringatnya walaupun bajunya sampai basah kuyup seperti ini, aku tidak akan pernah menolak untuk memeluk atau menciumnya.
Well, aku dan Luke tidak pernah berciuman di bibir.

Dulu Luke memang pernah hampir melakukannya, tapi aku menolak dan menjelaskan masalah prinsip dan juga budaya negara Indonesia. Aku senang karena Luke mengerti itu semua dan menghargaiku, dia menghormatiku.

🔥🔥🔥

Aku terbangun saat pundak Luke bergerak. Aku menemukannya yang sedang menatap takjub ke luar jendela. Tentu saja, dia tidak pernah menemukan sawah di Australia. Beras sangat langka disana.

"Look at that, sweet! Rice field! Indonesia has planty of rice field!"

"Honey, turn your voice down. And yes, we export rice to worldwide." Jelasku.

Lukman 2020Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang