Kumcer 1 - Obat Untuk Nika

784 110 119
                                    

Bali, Maret 1990

Aku sudah terbiasa dengan bau ruang medis. Contoh kecilnya, apotek milik Ibuku yang seorang apoteker. Di ruangannya, aku bisa menghirup bau-bau obat yang menyengat di hidung dengan bebas.

Kalau sebagian orang membenci bau ini, aku justru menyukainya. Mungkin, karena dari kecil, ruangan kerja Ibuku adalah rumah kedua bagiku.

Namaku Nika Camelia. Panggil saja Nika. Gadis ceroboh dan teledor yang kini berusia 18 tahun. Aku akan lulus SMA tahun ini dari SMA 111 Denpasar, Bali. Hanya seorang gadis biasa penyuka kopi dan cokelat.

Aku memang sering mengalami luka di tubuhku. Entah itu di dahi, pipi, kaki, tangan, jari, bahkan lututku sekalipun. Hal itu terjadi karena kecerobohanku yang overdosis—kata sahabatku. Dan aku sudah terbiasa dengan darah. Aku sering melihat bagian tubuhku yang luka mengeluarkan darah segar, dan hal itu tak lagi membuatku takut.

Aku sudah terbiasa.

Seperti saat ini contohnya, ketika aku terjatuh dari sepeda motor sepulangnya dari sekolah di trotoar jalan. Aku tidak langsung pulang, melainkan memijit-mijit lututku yang terasa nyeri. Meski jarak rumahku dekat dari posisiku saat ini, aku tidak sanggup untuk berdiri apalagi menyetir motorku dengan keadaan lutut yang sudah bersimbah darah.

Aku mengirimkan pesan text pada sahabat kecilku—ia sudah hafal dengan kecerobohanku dan sudah memakluminya.

Nika C.
Dit, lagi

Tak perlu menunggu terlalu lama, seseorang dengan nomor sama yang kukirimi pesan langsung meneleponku.

"Lo dimana sekarang?" tanyanya panik.

"Dua puluh meter dari rumah," jawabku kecil.

Dari seberang pertigaan jalan, aku melihat seorang cowok berkemeja biru dengan jins hitam dan sandal biru berlarian ke arahku sambil memegangi ponselnya. Di tangannya, ia membawa sebotol air dan kapas.

Begitu Adit sampai di hadapanku, cowok itu hanya diam. Tidak bereaksi apa-apa melihat lukaku yang terlihat cukup parah. Adit lalu membuka botol air itu, menuangkannya sedikit demi sedikit pada kapas di pahanya, lalu mulai membersihkan lukaku perlahan.

Aku memandanginya. Memandangi Aditya Deresta yang sudah mencuri hatiku sejak lama. Kami bersahabat. Kami juga sama-sama pindah ke Bali tahun 1980 ketika kami masih berumur 8 tahun. Adit selalu ada ketika aku membutuhkannya. Dan dari semua hal kecil itu, membuatku jatuh hati padanya.

Gengsi? Ya. Aku tidak pernah mengungkapkan rasa ini padanya. Aku takut Adit akan menjauh jika tahu sahabatnya sendiri mencintainya.

"Dit.." panggilku ketika Adit sudah membersihkan lukaku. Ia menoleh sebentar, lalu kembali fokus pada lututku.

"Diem dulu Nik. Bisa infeksi kalo ngga segera dibersihkan," katanya lembut. Mungkin, jika kalian berada di posisiku akan sama merasakan degup jantung yang diluar ritme dibuatnya.

Aku ingin memeluknya, berteriak berapa brengseknya ia membuatku sakit akan cinta. Namun, kuurungkan semua niat itu, agar kami tetap bersama. Agar aku dan Adit selamanya bersama.

Tanpa sadar, dari tadi air mataku jatuh.

Adit yang melihatnya refleks menghapus air mataku. "Nika, sakit ya?"

Enggak.

"Iya," aku menjawabnya.

Lalu, Adit kembali menatapku dengan tatapan yang membuatku jatuh padanya. Tatapan yang hanya perlu 0,1 sekon untukku menaruh hati padanya. Tatapan yang kubenci namun ingin kumiliki selamanya.

HarmoniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang