L I M A

56.6K 7.2K 277
                                    

Kadar kesakitan seseorang ketika ia kehilangan akan berbeda-beda.

Begitu juga cara seseorang menyikapi penderitaannya.

Bisa jadi yang satu berteriak marah karena Tuhan mengambil apa yang dicintainya, sedang yang lain hanya diam menyiksa dirinya.

Bisa jadi yang satu menangis sepanjang hari karena takdir yang tak adil baginya, sedang yang lain mengurung diri dan menyesali segalanya.


******


"Aryan. Mau kamu terpuruk atau kamu hidup seperti biasa, hasilnya tetep sama. Irdina nggak akan bisa hidup lagi. mau sampai kapan kamu begini sih?! Mama capek lihat kamu. Dipikir yang Mama urusin itu kamu aja? mikir dong! Kamu ini udah dewasa. Umur kamu aja yang dewasa, pemikiran kamu jauh dari dewasa. Kamu baru ditinggal mati sama Irdina, tapi hidup kamu masih bisa berjalan karena kamu masih muda, masih bujangan. Nggak kayak Mama, yang ditinggal mati Papamu dulu, tapi Mama harus besarin kamu dan adik-adik kamu. Pikir. Yang mana yang lebih susah. Tolong dong! Sebentar aja kamu ringanin beban pikiran Mama!"

Aryan Dimas—pria pendiam yang kehilangan sebagian besar hidupnya, menatap ibunya dengan sorot mata yang kosong. Jika dibandingkan dengan cerita Ibunya, memang kehilangan miliknya bukan apa-apa. Tapi kadar kesakitan yang setiap orang rasakan berbeda bukan?

Meskipun Aryan tak harus berjuang membesarkan seorang anak sendirian, tetapi Aryan perlu untuk mengatur kembali hidupnya yang semula hancur, kemudian ia memiliki secercah harapan, namun kemudian hancur lagi. Tidak mudah, bangkit dalam keadaan dimana kita benar-benar terjatuh dan terperosok begitu dalam. Namun Ibunya selalu begini, mengatakan bahwa dirinya selalu saja begitu merepotkan, padahal Aryan... diurus saja tidak.

Pria itu tersenyum miris. Karena ditinggalkan oleh ayahnya ketika Aryan berusia 12 tahun sementara adik kembarnya masih berumur 4 tahun, Ibunya yang tidak bisa apa-apa hanya bisa mengandalkan warisan yang ayahnya tinggalkan sampai habis, lalu kemudian Ibunya menikah lagi dan meninggalkan Aryan begitu saja. Aryan ingat sekali, ia akan dimarahi oleh Ibunya kalau ia menemuinya ke rumah barunya. Lalu, pada akhirnya Ibunya akan berkata, "Jangan hubungi Mama. Kalau mau ketemu, nanti. Biar Mama yang nemuin kamu." . Berlangsung seperti itu selama 15 tahun lamanya hingga Aryan mulai terbiasa dan ia sudah tidak mempedulikan apapun lagi namun selama 2 tahun terakhir ini, Ibunya bercerai dengan suaminya dan beliau kembali ke rumah mereka yang dulu. Untung saja, Aryan sudah memiliki rumah yang akan ia tinggali dengan kekasihnya setelah mereka menikah, sehingga Aryan mempunyai alasan untuk tak serumah dengan Ibunya.

Dan lihat saja sekarang, Ibunya ini... selalu sama. bahkan di saat ia terpuruk, kelakuan ibunya tetap sama. baik dulu ketika ia ditinggalkan oleh ayahnya, ataupun sekarang... ketika ia ditinggalkan oleh kekasihnya.

"Saya nggak minta Mama untuk mikirin saya," sahut Aryan. Ia bangkit dari duduknya dan berlalu begitu saja sementara Dini—Ibunya berteriak.

"Gimana bisa Mama nggak mikirin kamu. Kamu kan anak Mama!"

Pria itu—Aryan berbalik dan menatap Ibunya dengan sendu, "Anak yang Mama tinggalkan! Yang Mama selalu marahi ketika dia bahkan tidak mengerti apa-apa. Yang Mama larang untuk menemui Ibu dan adiknya sendiri karena kehidupan kalian lebih baik tanpa saya, lalu yang Mama sapa kembali saat kehidupan saya sudah lebih baik sementara kehidupan Mama mulai hancur karena Mama tidak punya apa-apa setelah Mama berpisah dengan suami yang Mama bela sampai Mama membuang anak Mama sendiri. Tapi sebagai seorang anak, saya nggak boleh durhaka kan? jadi, saya benar-benar menerima Mama kembali. Saya menerima Mama yang tiba-tiba ingin tinggal di rumah yang dulu sampai Mama harus mengusir saya secara tidak langsung sedangkan saya harus membiayai Mama tanpa harus mengeluh. Jadi, tolong!"

ODIVICATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang