"Tan, Vica gapapa kan?"
Rina menatap anaknya—Vica seraya memiringkan kepala, tak yakin dengan apa yang didengar dan apa yang dilihatnya.
"Kayaknya dia emang kenapa-kenapa Del," sahutnya pada Adel di sebrang sana.
Satu jam yang lalu, Vica tiba di rumah dengan membawa banyak belanjaan termasuk di dalamnya adalah bahan makanan, tas, baju, sepatu, mainan anak, cemilan anak, dan yang paling parah... seorang kurir menghubunginya dan mengatakan bahwa sofa dan furnitur lainnya sudah sampai. Seingat Rina, ia tidak memesan apapun, tapi rupanya Vica yang memesan semuanya, anaknya itu berkata bahwa furnitur di rumahnya harus segera diganti, bahkan kalau bisa rumahnya juga direnovasi saja sekalian. Gila memang anaknya yang satu itu, dia bukan lagi bertanya mengenai persetujuan nyonya rumah, tapi Vica malah sudah memutuskan semuanya dan hanya membuat pemberitahuan padanya.
Belum reda kebingungannya tentang anaknya, Vica malah sudah menambah lagi hal yang membuat Rina tak mengerti dengan jalan pikiran anaknya. Ternyata, anaknya itu memasak semua bahan yang dia beli sendiri, kemudian yang paling ajaib adalah; VICA MEMINTA SEMUA KELUARGA UNTUK BERKUMPUL!
Berkumpul! Bukan hanya Rina, Vica, dan cucunya. Tapi semuanya. Dari anak pertamanya sampai Randi—anak bungsunya. Vica benar-benar mengumpulkan semua orang dan sekarang anaknya itu sedang sibuk tertawa terbahak-bahak mendengarkan cerita Randi tentang istrinya yang cemburuan, sementara Rina berpindah ke sudut ruangan karena dering telpon yang masuk ke dalam ponselnya. Siapa sangka yang menelponnya adalah Adel yang justru malah menanyakan keadaan Vica.
"Emangnya Vica kenapa?" tanya Rina pada akhirnya.
Adel menghela napas di sebrang sana, ia berniat untuk merahasiakan apa yang terjadi pada Vica, tapi karena Adel khawatir juga dengan keadaannya, akhirnya Adel menceritakan apa yang ia ketahui lewat Vica di basement toko beberapa saat yang lalu.
Mendengarkan penjelasan Adel, Rina hanya bisa menghembuskan napasnya dengan keras, "Pusing Del, anak dua itu," katanya begitu saja.
"Tapi Tan, Arshad pamitan dulu kan sama tante?"
"Ya iya. Dia pasti pamitan, semalem dia sempet ngobrol banyak sama tante di telpon, terus dia bilang katanya mau pergi soalnya ada kerjaan. Ya mana tante tahu kalau itu alesan dia doang."
"Ma, mama telponan sama siapa sih? Orang lagi ngumpu-ngumpul juga. Sempet-sempetnya."
Suara Vica yang menginterupsinya membuat Rina menoleh dan cepat-cepet memutuskan sambungan telponnya bersama Adel, "Nanti disambung ya Del," ucapnya seraya menyimpan ponselnya begitu saja.
Rina berjalan dengan cepat dan duduk di tengah keluarganya yang sedang berkumpul, "Mama ketinggalan ih, barusan ngobrolin apaan?" tanyanya.
"Mau tahu aja ya Ibu. Males ah tar Mama cerita sama buibu komplek lagi terus heboh, hiiii rimbil yaaa nggak mau," ledek Vica.
Semua orang tertawa, apalagi ketika mereka melihat ekspresi Rina yang diluar dugaan.
Malam itu, rumahnya yang belakangan terasa sepi karena anaknya yang satu senang menyendiri seolah mulai kembali ramai lagi. Dan Rina sangat senang karenanya, namun tetap saja... ia khawatir dengan apa yang Adel ceritakan, dan dengan perubahan tiba-tiba anaknya.
****
Vica menatap pantulan dirinya di cermin. Ia memoles lipstiknya dan menarik kedua sudut bibirnya, melatih dirinya untuk tersenyum. Ia terkikik sebentar kemudian membenahi rambutnya. Selesai, Vica sudah siap untuk pergi bekerja!
KAMU SEDANG MEMBACA
ODIVICA
ChickLitKata siapa janda lebih laku dari perawan? Siapa yang bilang begitu? SIAPA? Tolong beritahukan kepada Odivica sekarang juga! Mana orangnya? Seenaknya sekali berbicara seperti itu. Apa enaknya jadi janda? Diburu pria lajang karena berpengalaman? Itu...