T U J U H B E L A S

31K 4.7K 288
                                    

Ada sesak yang tak bisa dijelaskan.

Ada sakit yang tak bisa diutarakan.

Dan ada perasaan besar yang tak bisa Arshad ungkapkan.

Semuanya terasa membunuh ketika satu bulan terakhir yang bisa Arshad dapatkan dari Vica adalah dirinya yang sibuk dengan ponsel dan acara kencannya. Iya, sepertinya hubungan Vica dan gebetan yang Adel ceritakan itu berjalan dengan baik, buktinya setiap hari mereka bertukar kabar, parahnya lagi si Vica ini semua hal ia laporkan pada si 'kakak' nya itu. misalnya saja ketika Arshad membawakan nasi kuning untuknya, Vica akan menghubungi seseorang dan bertanya, "Kakak udah makan? Aku baru mau makan nih, kayak biasa. Nasi kuning.' Ppffft. Kalau Arshad jadi gebetan Vica, bosan kali dia mendengar kalimat yang sama setiap paginya. Ini pagi ya, pagi. Kalau siang berbeda lagi. Jika sudah mendekati waktu makan siang, giliran 'Kakak' nya yang menelpon untuk mengajaknya makan bersama dan Arshad bisa mendengar Vica berkata, "Makan apa aja terserah kakak deh."

Ha! Terserah? Mana ada! Terserahnya Vica itu artinya dia mau makan di tempat yang dia inginkan! Pria itu pasti tidak tahu kan? Lihat saja beberapa bulan lagi, Vica tidak akan mengucapkan kata terserah semanis itu, pasti dengan ekspresi wajahnya yang membuat semua orang berkata, "Oke, sesuai mau kamu aja." Sungguh, Arshad berani bertaruh dengan seluruh harta kekayaan yang dia miliki!

"Kalau gue jadi lo Shad, ogah nganterin makan buat diceritain sama orang gitu," gerutu Adel yang tiba-tiba saja sudah duduk di sampingnya. Arshad menatapnya dan mengangkat bahu, "Apa gue bawain sarapan buat lo aja Del besok-besok?"

Adel meledeknya, "Gue nggak sarapan nasi. Berat kali buat perut gue."

"Sarapannya kek orang sakit sih lo. Banyak gaya makan oat segala, energen ajalah yang murah Del. Serebu maratus," sahut Arshad.

Adel menggelengkan kepala, "Juragan kontrakan kayak lo itungan banget ya sama perut sendiri. Jangan-jangan sama Vica juga lo dulu pelit ya Shad? Hahahaha."

"Woe, kalau ngomong nggak disaring dulu. Buat Dii mah seisi dunia juga gue kasih Del."

"Halah. Kalau seisi dunia lo kasih, harusnya tetep lo kasih selamanya. Ujung-ujungnya lo lepasin juga kan. Bacot! Ngomong sana sama Vica!"

Arshad tersenyum miring, "Nggak bisa, Dii nya lagi telponan."

Adel menggelengkan kepala. Ia menatap Arshad dengan miris, "Lo emangnya nggak apa-apa?" Tanya Adel.

Arshad tertawa sumbang, "Nggak Mama Rina, nggak elo, nggak Gilang, nanyain hal yang sama. Orangnya aja nggak apa-apa, ngapain kalian khawatir gitu?"

"Bukan begitu Shad. abisnya ya gue bingung aja, lebih tepatnya kasian aja sih sama lo. Gini deh Shad, simpelnya... lo tuh nggak boleh setengah-setengah jadi orang, kalau mau lepasin ya lepasin sekalian, lupain Vica, sana pergi... kejar kebahagiaan lo sendiri. Jangan malah plin plan gini, udah lepasin, tapi masih baying-bayangin. Bukan hanya lo aja yang bakal kesulitan, Vica juga sama. Bisa aja dia nggak enak buat ketemu gebetannya karena jaga perasaan lo kan?"

Arshad ingin tertawa mendengarnya, "Mana ada. Lo nggak liat sebulan ini Dii bisa berjalan dengan ringan di muka bumi sambil telponan dan chat di depan gue? Hahaha jadi penasaran gue Del, cowoknya cakep nggak sih? Lo pernah liat mukanya nggak?"

Adel berdecak, "Malah emosi gue. Segala omongan buat lo nggak nempel satupun sih Shad. Memang sih ya semua hal ada alasannya, tapi menurut gue ya lo nggak usah sepengecut inilah. Kesel aja gitu gue liatnya, meskipun di mata Vica lo menyebalkan, tapi di mata gue... yang memandang lo dari sudut berbeda, lo justru menyedihkan."

ODIVICATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang