S E M B I L A N B E L A S

32.7K 4.8K 287
                                    

"Shad... bentar. Aku... deg degan."

Vica serius dengan apa yang dikatakannya. Ia memang degdegan! Bukan degdegan karena ia mempunyai jantung yang memompa darahnya, bukan. Tapi degdegan yang membuat Vica merasa resah, yang iramanya tak seperti biasanya, yang efeknya membuat mata Vica mengerjap tak percaya.

Wanita itu menatap Arshad lagi, ia bahkan tak segan-segan untuk maju dan menggenggam tangan Arshad secara tiba-tiba.

Vica menelan ludahnya, dengan ragu ia menatap Arshad dan meminta, "Coba bales genggaman aku, Shad," katanya.

Arshad kebingungan, tapi dia menurutinya. Pria itu menggenggam tangannya, mengisi kekosongan di sela jemarinya—kedekatan pertama setelah sekian lama sejak Vica selalu mengusirnya jauh-jauh dari hidupnya, dan apa yang sekarang Vica rasakan malah membuatnya tak bisa berkata-kata.

Tadi pagi ia bahkan sangat senang bisa menghabiskan waktu bersama Aryan. Dua bulan belakangan, vica sangat bahagia karena ia bisa dekat kembali dengan gebetannya semasa sekolah. Cubitan Aryan di pipinya juga membuat Vica hampir berteriak kegirangan, bahkan Vica yakin kalau ia Arshad, ia akan melompat-lompat seperti monyet saking senangnya. Tapi sekarang... ketika getaran itu kembali ia rasa, ketika Arshad menggenggam tangannya, Vica menyadari satu hal.

Buru-buru ia melepaskan tangannya, "Lepas kali, rabies kalau lama-lama," gerutunya. Mencoba bersikap biasa-biasa saja. Beruntung tangisnya sudah berhenti jadi Vica bisa bersikap cuek semudah itu.

"Dasar. Yang pengen dipegang juga siapa coba?" kata Arshad. Meledek Vica sih, tapi suaranya itu loh. KEMANA SUARA TENGILNYA? KENAPA SUARA ARSHAD MALAH TERDENGAR LEMBUT BEGINI SIH?

"Awas ah! Aku mau pulang!"

Buru-buru Vica berdiri dan mengusir Arshad. Ia bahkan mendorong Arshad untuk keluar dari tokonya. Pria itu berhenti sejenak. Ia mengangkat tangannya kemudian terkekeh, "Nggak usah diusir, mau pergi sendiri kok. Kan kamunya udah nggak nangis."

"Mampus, jadi bahan bully an besok," gerutu Vica.

Arshad tertawa, dengan lepas, dan ringan. Sekilas Vica terpana karenanya. Sesungguhnya tawa ini jarang Vica lihat, karena tertutup dengan tawa tengil menyebalkan miliknya. Hih, sebal juga kalau ingat tawa Arshad yang satu itu.

"Nggak kok Dii, bahan bully an bukan ini aja," kekeh Arshad. Vica mencibirnya.

"Tapi btw, aku baru aja kepikiran satu hal."

Vica menatapnya dengan tatapan nyolot, "Apa?"

"Coba aja ya, kalau setiap kamu nangis aku kayak barusan," kekehnya.

Vica menelan ludah, sedang Arshad tak berusaha untuk menjelaskan. Ia malah melambaikan tangan dan berjalan seraya tertawa seperti biasa. Pria itu masuk ke dalam ruangannya. Ia menutup pintu dan tak menoleh pada Vica sama sekali.

Tanpa Vica tahu bahwa di balik pintu, Arshad menertawakan dirinya sendiri.

Jika saja memang yang ia lakukan Sembilan bulan lalu adalah mendampingi Vica, menghiburnya, dan mengomelinya karena terus menerus menangis, mereka tak akan seperti ini.

Penyesalan itu menyeramkan bukan?


****


Aryan menatap ibunya tak suka, "Mama, keperluan mama ke sini hanya minta uang Ma. Jadi kenapa Mama harus mencampuri urusan Aryan?" tuntutnya.

ODIVICATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang