D U A P U L U H T U J U H - END

92.2K 5.8K 523
                                    

Dua Tahun Kemudian.


Rina memiringkan kepala dengan keningnya yang mengerut. Ia menatap sebuah bingkai foto yang terpajang di toko anaknya seraya menggelengkan kepala kemudian berdecak, tak habis pikir.

"Tan, susu buat Kamas bener kan segini?"

Suara Adel membuat Rina terperanjat. Ia segera berbalik dan melihat cucunya yang masih menggigit mainan yang dipegangnya di strollernya. Wanita paruh baya itu memegang dadanya, merasa lega. Ia melirik Adel, memperhatikan botol susu yang Adel bawa dan mengangguk, "Udah bener segitu. Penuhin aja Del, cucu tante ini sama kayak mamanya, suka rakus kalau lagi laper."

Adel tergelak, "Mamanya nggak usah ditanya sih tan."

Rina mengangguk. Ia meraih botol susu dari tangan Adel dan menyerahkannya pada cucunya. Setelah memastikan bahwa cucunya sudah nyaman dengan posisinya, Rina kembali berkutat pada kesibukannya yang sebelumnya; menatap bingkai foto yang masih saja membuatnya kebingungan.

"Del, kamu paham nggak sih fungsinya pigura ini disimpen di sini buat apa?" tanya Rina tiba-tiba. Jangankan Rina, semua orang juga akan kebingungan dibuatnya. Bukan apa-apa, yang Vica pajang di bingkai foto itu bukan lukisan atau karya seni lainnya melainkan sebuah kartu nama pesantren! Catat. Kartu nama pesantren! Yang seharusnya dibaca sekali saja juga sudah tahu alamatnya, tapi ini... Vica malah sengaja memajangnya dalam pigura. Anaknya itu memang sudah tidak waras, bahkan sampai beberapa tahun berlalu.

"Di mata Vica, yang keliatan sama dia itu kayaknya muka Arshad deh Tan, bukan kartu nama," sahut Adel.

Arshad. Tepat, kartu nama itu berhubungan dengan Arshad, karena pria itu ada di sana.

Dua tahun yang lalu, ketika pertama kali Vica menempelkan pigura itu, Adel bertanya maksudnya apa, tapi Vica tak menjawab apa-apa. Kemudian dua bulan setelah pigura terpasang, tiba-tiba Vica berkata bahwa ia akan mengirimkan seragam setiap dua bulan sekali untuk anak-anak pesantren yang akan dibuat langsung olehnya. Vica tidak meminta Adel membantunya, wanita itu benar-benar menjahitnya sendiri. Bayangkan saja! Dua ratus seragam dikerjakan sendiri? Vica memang kurang kerjaan! Atau memang dia sengaja mencari-cari pekerjaan?

Dua tahun yang lalu, karena rasa penasaran dan khawatirnya bercampur menjadi satu, Adel berdiskusi dengan Rina dan akhirnya mereka mendatangi pesantren itu tanpa sepengetahuan Vica.

Di sana...

Adel dan Rina melihat Arshad. Dan kejanggalan-kejanggalan dari perilaku Vica sebelumnya tiba-tiba saja terkuak. Rupanya... Vica bermasalah dengan perpisahannya bersama Arshad, dan wanita itu... tidak pernah baik-baik saja.

"Tapi kenapa atuh Vica nggak nemuin-nemuin Arshad ya Del? Udah dua tahun loh ini."

Adel mengangkat bahunya, tidak tahu.

Padahal sebenarnya Adel tahu. Adel pernah bertanya pada Vica, dan wanita itu menjawab, "Gue belum siap ketemu dia kalau gue masih bawa luka dari kebersamaan kita yang sebelumnya Del."


*****


Hidup dalam kenangan dan penyesalan adalah penderitaan paling menyakitkan yang membuatmu ingin berteriak menggugat atas takdir yang menimpamu. Namun, kau bisa apa? Berteriak hingga suaramu habis pun percuma. Kembali pada kenyataan bahwa dalam hidup ini, kau hanyalah seorang manusia yang jalan hidupnya sudah ditentukan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 16, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

ODIVICATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang