L I M A B E L A S

40.7K 4.9K 292
                                    

Arshad ini... sombong juga ya!

Vica benar-benar tak menyangka. Bukannya ketika kita mengirimkan pesan tapi kemudian pesannya ditarik kembali, tetap ada pemberitahuan di ruang chat seperti 'Vica telah menghapus pesan ini.' begitu kan? Dan biasanya, baik Vica atau sebagian orang pasti mengirimkan pesan konfirmasi, sekedar bertanya, 'Kok dihapus lagi? salah kirim apa gimana?' begitu kan? Apalagi, yang Vica kirim pesan itu Arshad, pria paling kepo sejagad raya. Seharusnya pria itu mengirimkannya pesan kan? Benar kan? Masalahnya, KENAPA PRIA ITU TIDAK MENGIRIMKANNYA PESAN SAMA SEKALI? MEMANGNYA ARSHAD TIDAK PENASARAN KENAPA VICA MENGHAPUS LAGI PESANNYA?

Oh, Tuhan. Pagi-pagi begini Vica sudah dibuat emosi. Astaga. Ya, oke sih kalau pria itu sedang asyik dengan pacar-pacarnya, terserah lah apa yang dia perbuat, tapi setidaknya...

Oke, Vica... kenapa juga kau mengharuskan Arshad mengirimkanmu pesan?! Batinnya memperingati.

"Hoh! Kesel, gustiiii... emosi, emosi, sumpahhhh," geram Vica.

Wanita itu menepuk-nepuk dadanya untuk menenangkan diri, dan gerakannya itu ditangkap oleh Adel yang baru saja masuk ke dalam toko.

"Punten, tetehnya mau ngamuk-ngamuk?" tanyanya.

Vica mendesis, "Gue laper! Makanya emosi."

"Ya makan lah, lo udah beli sarapan juga kan? Tumben, belinya lontong kari."

"Lagi pengen aja lontong kari. Emang kalau gue sarapan harus nasi kuning terus gitu? Kan enggak. Kesannya kayak gue nggak bisa makan yang lain aja selain nasi kuning."

Mendengar respon Vica yang sensitif seperti itu membuat Adel menahan tawanya.

"Gue nggak nyebutin nasi kuning deh perasaan. Pertanyaan gue itu kenapa lo beli lontong kari? Dan seharusnya lo jawab, lagi pengen aja Del. Udah, as simple as that. Nggak usah ngegas juga," canda Adel.

Vica tak menghiraukannya. Wanita itu lebih memilih untuk fokus menuang bungkusan lontong karinya ke dalam mangkuk yang sudah ia bawa.

"Undur diri deh gue, mau ngejahit baju, sebelum bibir gue lo jahit," kata Adel lagi.

Vica mendelik, tapi Adel sudah tak bisa menahan tawanya lagi hingga tawanya pecah, dan ia puas sekali meledek Vica. Ya Tuhan.

"Paan niii, rame beut," sahut sebuah suara yang membuat Vica segera mengangkat kepalanya dan mendapati Arshad berjalan menuju kepadanya. Vica tidak tahu kenapa tapi jantungnya malah berdebar-debar dengan kencang. Gila, memangnya si Arshad ini preman yang mau memalaknya?

"Eh, M-kapsul udah dateng," ucap Adel tiba-tiba.

Arshad mengerutkan keningnya, "M-kapsul apaan?"

"Obat dateng bulan Shad. obat siklus, obat yang bisa bikin segala macam gejala datang bulan mereda, misalnya marah-marah atau emosi yang berlebihan gitulah," sahut Adel.

Vica menatapnya tajam, tapi Adel malah menjulurkan lidahnya, tak peduli dengan pelototan Vica padanya.

"Hai mantan!" sapa Arshad, tengil seperti biasa. Ia berdiri di sebrang Vica dengan terhalang sebuah meja dan pria itu mengangkat bungkusan nasi kuning yang ia bawa, "Sarapan," katanya.

"Nggak usah ya. Gue udah beli!" gerutu Vica.

Arshad mengintip isi mangkuk yang berada di depan Vica dan tersenyum, "Wah, ini mah favorit aku. Dah, sini buat aku aja. Kamu makan nasi aja nih, lagian lontong kari ada santennya. Kamu nggak bisa pagi-pagi begini makan santen," ucapnya seraya mengambil mangkuk itu dan menukarnya dengan nasi yang dibawanya.

ODIVICATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang