enam

1K 49 11
                                    

Entah bagaimana aku menggambarkan perasaanku setelah membaca pesan dari kak Sarah, apakah aku harus marah atau kecewa, bukan pada Aya tapi pada diriku sendiri.

Ketika cinta sudah tak kuasa terucap oleh kata, dan rindu menggebu melebihi genderang yang terpacu, aku kalah, kalah dengan perasaan ini, perasaan cintaku pada Aya yang berhasil  membuat wajahku pucat pasi, dan bibirku kelu saat ini.

Aku hanya terdiam di tempat duduku dan tertunduk lemas, 
Penyesalan demi penyesalan terus muncul dipikiranku.

Bodohnya aku yang tidak sempat bertanya pada Aya kapan dia berangkat ke Solo, aku terlalu asik bercerita tentang diriku sendiri di telpon tempo hari.


    “hehh, melamun saja, mikirin         apa Kau?”

Tanya Hesa membuyaran lamunanku


“tidak,”

Tidak, mungkin hanya itu kata yang mampu aku ucapkan sekarang.

  Kembali lagi ku tundukan pandanganku kearah ponsel yang masih setia menampilkan pesan dari kak Sarah.

***

Waalaikumsalam kak, terimakasih kakak sudah memberi kabar padaku, Aya memang tidak memberitahuku kapan ia akan berangkat ke Solo. Aku tidak mungkin marah ataupun melarang Aya untuk pergi, tapi aku kecewa pada diriku sendiri kak, yang bahkan tak mampu melihat Aya sebelum ia berangkat. Kakak tak usah kawatir, hatiku ini sampai kapanpun tetap tertambat pada Aya, hatiku tak kenal gadis lain kecuali Aya. Aku pasti datang kerumah suatu saat nanti kak, sekarang aku sibuk memantaskan diri agar pantas dimata ayah Aya. Jaga kesehatanmu kak. Wassalam.

***

Jariku mulai berhenti menulis pesan. Hari ini banyak hal baru yang datang padaku. Pikiran tentang ucapan sengak dari taruna misterius yang belum hengkang dari otaku, sudah tertimpal kembali oleh kepergian Aya ke Solo.


***
.
.
.
.
.
.
.
  Aku bangkit dari ranjang susun yang sudah mulai rusuh, hari ini Hesa seperti dirasuki oleh malaikat, karena pagi ini dia bangun 15 menit lebih awal dariku.

  Palo sudah bersiap dengan setelan jas hitam dan kemeja putih, membuatnya terlihat gagah. Aku melihatnya sedang bergaya ala ala boyband Korea di depan cermin.
  Hesa, sama seperti Palo, dia mengenakan setelan jas hitam dan sepatu pantofel yang mulus hasil polesan semirku tadi malam.

“heh calon kapten, tumben kesiangan bangunnya, habis mimpi basah ya? Hahahaha”

Ucapan nyleneh Hesa membuka percakapanku pagi ini

  Aku tak menjawab ocehan Hesa, sembari berdiri aku menarik handuk putih yang tergantung di dinding  dan bersiap untuk mandi.

“kau ini aneh Dion, kuperhatikan satu minggu ini kau terlihat murung.. ada apa to??”

Tanya Palo sambil membenarkan tali sepatunya

  Kembali lagi aku berjalan tanpa menghiraukan ucapan 2 teman ajaibku itu. Aku berjalan menuju kamar mandi dengan tatapan kosong, aku tak tau apa yang terjadi pada diriku sendiri yang seperti tak punya gairah, yang aku tau sudah 1 minggu aku seperti ini, dan yang aku tau.. sudah satu minggu aku tak menerima kabar apapun dari Aya.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Setelah mandi aku kembali menuju kamar asrama, semua taruna di blok C sudah kompak mengenakan setelan jas hitam sangat rapi, hari ini kami akan datang ke pemakaman salah satu kapten senior kami, aku tak tau pasti siapa atau bagaimana rupa kapten itu, aku hanya mendengar simpang siur isu yang mengatakan kalau kapten Agus meninggal karena sebab yang tidak jelas.
  Sebagian awak kapal dari pelayaran terakhirnya mengatakan bahwa kapten Agus hilang setelah mereka berlabuh di Port Of Shanghai, China,

namun beberapa kru kapal di dek mengatakan bahwa ruangan Kapten Agus banjir darah saat mereka mulai menyeberangi selat Ambon, entah apa yang sebenarnya terjadi pada kapten yang cukup populer dikalangan taruna ini.

HUJAN SORE ITU [Bersamamu Aku Terluka, Tanpamu Aku Tak Kuasa]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang