¤ nineteen ¤

2.2K 308 23
                                    

🔹🔹🔹

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

🔹🔹🔹

"Iya. Dia Appa mu, Joon."

"Ah, ini tak benar." Namjoon segera berjalan menuju pintu keluar, hanya memakai kemeja tipis dan celana jeans, tanpa memikirkan di luar sana salju sedang turun lebat.

Mengetahui hal itu, Seungbin dan Jinhwa tak tinggal diam. Masing-masing tangan mereka memegangi erat Namjoon agar tak kabur.

Mereka tau bagaimana perasaan Namjoon. Mungkin Namjoon belum ingat jika Sukwoon adalah ayahnya. Ayah kandungnya. Namun mengingat bahwa Sukwoon selalu bertindak seenaknya pada anak bungsu sendiri, Namjoon pasti tak bisa menerima kenyataan. Tentang bagaimana bisa ayahnya sendiri memperlakukan dirinya seolah Namjoon itu orang lain. Seolah ia memang tak disingkirkan secara langsung, namun menuntut anaknya sendiri bekerja keras dengan cara mencabut beasiswa.

"YA! APA-APAAN INI? LEPASKAN AKU! AKU TAK MAU BERADA DISINI DAN MELIHAT WAJAH SUKWOON!!" Tangan Namjoon meronta minta dilepaskan.

Tentu saja kedua hyungnya tak menuruti. Mereka malah membawa paksa si bungsu ke dalam kamar dan menguncinya agar Namjoon tak dapat kabur sebelum mereka menjelaskan semuanya.

"HEIII!! LEPAASSS!! AKU MAU PULANG! AKU MAU MENGAMBIL GAJIKU!!" Namjoon masih saja berteriak.

Kewalahan, Jinhwa mengambil 2 pasang dasi di laci. Dibantu Seungbin yang masih memegangi tangan Namjoon, mereka berdua bekerja sama untuk mengikat dua tangan Namjoon di tiang head bed, "YAK! KENAPA AKU DIIKAT? AKU BUKAN ORANG GILA!"

Selesai, Jinhwa dan Seungbin menjauh. Membiarkan Namjoon mengeluarkan sumpah serapahnya sambil berteriak, dengan kaki yang menendang-nendang meronta minta dilepaskan.

"LEPASKAN AKU!!"

Jinhwa, juga Seungbin setia melihat adiknya ini berteriak sambil bersedekap tangan di depan dada. Mereka yakin sebentar lagi teriakan itu akan terhenti dengan sendirinya.

Benar saja. Tak sampai 5 menit, teriakan Namjoon hilang. Tendangan angin tadi juga telah berhenti, "Ah.. Capek.." keluh Namjoon. Ia berusaha mengatur nafasnya setelah lelah berteriak, namun tak digubris sama sekali.

"Sudah capek?" Tanya Jinhwa sembari tersenyum.

"Hyung, lepaskan aku.. Ikatanmu terlalu kuat." Pinta Namjoon.

"Tidak sebelum kami menjelaskan sesuatu padamu."

"Oke.. Silahkan. Aku akan mendengarkannya."

"Jangan cuma di dengarkan. Pahami juga, Joon."

"Iya."

Seungbin tersenyum samar melihat adiknya pasrah. Sedang Jinhwa mencoba mengambil nafas sebelum memulai, "Jadi pertama, Hyung minta, jujur pada Hyung. Oke?"

"Ne, ne."

"Aku tak mau mendengarnya dari Seungbin. Hyung ingin mendengar darimu langsung. Kau sakit apa? Kenapa kau bisa melupakan masa kecilmu, Hyung, dan Appa?"

Merasa tak harus di sembunyikan di depan seseorang yang penting di hidupnya, Namjoon menceritakannya jujur, "Waktu kecil aku jatuh dari tangga dan di vonis dokter menderita gangguan memori. Lalu baru beberapa hari yang lalu, aku di vonis Alzheimer."

"A-alzheimer?"

"Ya. Alzheimer. Penyakit yang akan membuat aku sering lupa, bingung. Bahkan ingatakanku akan terhapus. Lalu beberapa tahun kemudian, hidupku akan berakhir."

"Apa maksudmu hidupmu akan berakhir? Kau bukan Tuhan yang bisa menentukan berapa tahun lagi hidupmu itu selesai! Mungkin saja kau akan hidup sampai tua. Sampai umurmu 100 tahun."

"Aku tau hidupku, Hyung. Memang aku tak tau kapan aku mati. Tapi seharusnya kau tau berapa lama aku bisa bertahan dengan penyakit mematikan yang belum ada obatnya sampai kini. Meminum obat dari dokter pun tak akan membuatku sembuh total. Aku mau meminumnya karena Hyung yang meminta."

"Tapi tetap saja, jangan seenaknya berbicara dengan kematian! Hyung tak suka." Bentak Jinhwa.

"Oke, aku minta maaf."

Kini Jinhwa berusaha mengatur emosinya agar kembali stabil, berbicara dengan Namjoon dengan kepala dingin, "Hyung juga minta maaf. Dan sekarang, Hyung minta, lupakan semua hal buruk yang pernah Appa lakukan padamu. Tentang masa kecilmu juga, kau tak usah mengingatnya. Itu terlalu buruk. Tapi tolong, jangan benci Appa, ya?"

"Iya."

"Iya?" Semudah itukah Namjoon si keras kepala menuruti permintaan Jinhwa?

"Jika yang meminta adalah Halmeoni dan Hyung, aku akan menurutinya. Sekarang lepaskan aku." Namjoon mulai menekuk kedua lututnya.

"Tidak sebelum kau berjanji juga pada Hyung, kau harus berhenti dari pekerja-"

Belum sempat Jinhwa menyelesaikan ucapannya, ia melihat Namjoon menutupi mulutnya dengan lutut.

"Namjoonie, kenapa?" Jinhwa dan Seungbin panik. Mereka mendekat ke arah Namjoon. Sedangkan Seungbin melepasi ikatan tangan adiknya itu.

"Mual, Hyung.."

"Hyung, itu efek samping obatnya." Ujar Seungbin.

"Ah, begitu.."

Jinhwa membantu si bungsu berjalan menuju kamar mandi karena keseimbangannya terganggu. Ketika Seungbin berlari menuju dapur guna mengambil air putih, yang tertua memijati tengkuk Namjoon agar memudahkan muntahannya keluar.

"Joon!" Panik Jinhwa ketika Namjoon malah terduduk.

"Ada apa?" Jinhwa mengelus surai Namjoon pelan.

"Betisku kram, Hyung.."

Jinhwa tak tinggal diam. Ia memeriksa betis Namjoon. Dan memang, terasa benjolan disana. Ia menggendong sang adik kembali ke dalam kamar. Disaat itulah Seungbin datang membawa segelas air, "Ada apa, Hyung?"

"Kaki Namjoon kram."

Seungbin mendekat, memberi Namjoon segelas air yang dibawanya, "Tak apa. Ini hanya efek obat sementara."

"Terima kasih, Hyung. Kramnya sudah sembuh. Mualnya juga sudah tak terasa lagi. AKU MAU PULANG!!" Namjoon bangun dari kasurnya tiba-tiba, berniat keluar dari tempat itu sebelum secepat kilat Jinhwa menarik kerah baju belakangnya. Menahan agar Namjoon tidak pergi.

"Mau kemana, hm? Seenak jidat pergi?"

"Aishh, Hyung.. Ildong Hyung pasti sedang menungguku sekarang. Aku harus segera mengambil gajiku. Lepaskan aku."

"Em, em," Jinhwa menggelengkan kepalanya, "Kau lupa?"

"Lupa apa?" Namjoon mengernyit.

"Kunci pintunya ada padaku, adikku sayang.."

🔹🔹🔹

To be continued..

just remember me ;knj✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang