# -Bukit Hujan

94 2 1
                                    

Yang luar biasa selalu menjelmakan tanda seru milik nama mu itu menakjubkan, bukan lagi hal aneh jika itu berhubungan dengan cantikmu. Apapun tuduhan rasa ini untukmu, seburuk apapun mereka menilai buruk balas redam diammu untukku. Aku tak akan peduli, Karena kau indah dengan segala kata tak tertera milikku.

Aku disini, memayun berpayung di bawah hujan sore.

Tangan dan tubuhku tak menggigil, hanya senyumku saja yang sedikit di aliri genangan.

Angan dan harap ku tak menuai pupus, hanya berjuangku saja yang sudah tak lagi kuanggap harus.

Kau pilih dia yang bak kesatria pujaan yang kau agungkan dimata, tapi justru melupakan aku yang tiap senggang sedihmu selalu ada.

Dia hadir dengan seenaknya tanpa mengetuk pintu maupun bertanya kau pun menerima dengan sukacita, sedangkan aku? Kenapa jadi aku yang harus mengerti itu semua..

Kenapa jadi aku yang menelan dilema dan berdiri menanti hujan reda seakan langit akan mempersembahkan bias jingganya, padahal setelahnya yang hadir hanya malam dipenuhi hitam gelap gulita.

Kerelaan bukanlah jawaban yang akan kupilih, lupakan saja ucapan selamat yang kuucap lirih. Mungkin ikhlas sesekali ingin menghasut namun ego tetaplah keangkuhan yang kupilih.

Dibawah payung penanti jawab hujan di batas bukit berseberang amarah cemburu dan rasa terpendam beradu sengit.

Saling bergaul ramah dengan senyum kian munafik menjadi keseharian baruku.

Seiring waktu untaian lemah canggung obrolan tentangnya kau sajikan untukku, dan diantara diam terduduk aku melayu membisu.

Padahal aku tempatmu merebah kala resah tiba-tiba mengunjungi pintu hatimu.

Padahal aku coretan kertas yang rela kau remuk hanyutkan untuk seutas jerit ceritamu.

Padahal aku tetesan rintik hujan bila sakit derita datang bertamu di tubuhmu.

Padahal aku..

Ini aku, rintihan cemburu, bukit hujan, beserta cerita milikmu yang kugenggam erat di tangan.

Sungguh kusayangkan, saat nanti dirinya mematahkanmu seperti halnya aku yang sekarang. Ia tak akan pernah lagi memutar ombaknya tuk sekedar menjemputmu, menggendongmu dengan hati-hati, memperlakukanmu kembali seperti seorang putri. Ia tak akan membuatkanmu puisi agar kau cepat kembali, memeluk seakan tak ada retak yang pernah terjadi. Ia tak akan pandai mendengar cerita panjangmu tentang dunia, celotehmu tentang warna, kagummu tentang langit senja.

Karena dia bukan aku.

Piagra Langit SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang