# - Ombak itu Dirimu

21 1 0
                                    

Lewat lalu lalang difikiran, terbawa arus menjauh dari tepi, kini kau terlepas sebagai luka yang tak sama sekali benar-benar melukai. Tanganku memegang kail mengait perahu, dalam aliran matamu aku menjelajah meninggalkan sauh yang justru berputar arah; desir indah nya menyuruhku pergi, didalam sana tak ada ruangan lagi yang boleh kutempati walau aku selalu merasa yakin bila harus kembali.

Angin nya, suara gema ombak, beberapa biru yang melintas dibawah perahu yang bergerak mundur maju. Apakah kecil sekali harapan untuk berlabuh padamu, sehingga perahu ini tak pernah bisa mencapai pelukmu. Aku mendayung sekuat tenaga, menjaga mataku tetap terjaga agar percaya engkau tak sekadar fatamorgana. Lampu-lampu gemerlap sudah terlihat di lain pihak, suar dari negeri nan jauh juga menyuruhku untuk menepi. Tapi keangkuhanku nakal sekali, congkak tak mau mendengar untuk terus mengejarmu yang kian berlari.  Warna nanar pagi sudah sampai dipinggiran bumi dan kembali engkau tak kunjung jua aku temui.

Kesempatanku semakin mengecil, angin yang kutunggangi sekarang bertiup keras melebar, membawaku pulang dan semakin menjauh. Kupaksa layar itu tetap mengarah kesana, ketempat senyum cantikmu itu benar berada. Semakin aku menentang dan melawannya angin itu tetap tidak mau pergi. Semakin aku menerjang dan mencoba mengalahkan nya badai itu juga menelan apa yang kumaksud berani. Ternyata ia telah menyelinap masuk lewat celah-celah kayu dan menghentikan perahu. Aku terpukul mundur, ditengah doa-doa yang tersisa untuk kuingat dan paling tabah untuk kupercayai. Ia menahanku memilih mana yang benar, menyelamatkan diri atau terus berusaha tidak mati. Badai yang menghentikan perahu itu; ternyata adalah diriku sendiri.

Bagaimana bisa aku seenaknya berhenti, padahal menemuimu tinggal beberapa langkah lagi. Aku tidak mau begini, aku mau kau, sekarang dan disini. Kenapa akhirnya bisa seperti ini, karena bukan begini seharusnya kau dan aku mengakhiri perjalanan. Aku seorang yang sungguh senang berpetualang, namun jika di lautan ini tidak ada engkau, untuk apa aku bersusah payah terjun keliling dunia. Kau sudah tidak disana, perahuku mati dibunuh rasa tidak percaya.

Dibawah teriknya cahaya langit, aku menarik paksa yang kau kenal sebagai perahuku. Tidak mau lagi aku berurusan dengan ombak sialan. Sudah cukup aku dipermainkan bual, sekarang atau tidak selamanya, kepadamu aku akan berjalan kecil-kecil, menarik perahuku sampai aku temukan apa yang kucari; dirimu. Aku akan sampai walaupun hanya dengan pelan-pelan. Aku akan disana meskipun hanya tersisa satu kaki dan sebelah lengan. Ambisiku tidak lebih hanya untuk bisa bertemu denganmu, untuk sekali lagi, kumohonkan jangan bersembunyi.

Pernah kah kau mau tahu apa yang paling kubenci dari mencarimu? Saat aku dengan gagah memijaki lautan yang luas; disana kau malah tidak bisa kutemukan. Dan disaat hampir setengah tahun aku berjalan di tepian berharap kau kujumpai, di dalam hatiku yang sok berani. namun rupanya justru disanalah kau sekarang, tersenyum gembira sedang jalan-jalan santai menikmati birunya lautan. Tempat yang tadinya sudah kutinggal pergi, tempat yang tadinya sudah ku cerca dan maki. Kau disana untuk merayuku mengulang perjalananku kembali, lagi.

Puan, seolah kita ini sangat mirip ombak dilautan. Bergerak tak tentu arah, keras mencekam dan begitu menakutkan. Apa yang kita lihat indah ternyata bukan seperti yang terbayangkan. Mungkin sebagai peringatan untuk jangan pernah melembutkan ombak yang berada dilautan terlalu lama, sewaktu lalai ia akan melahap kau dan aku tanpa kenal tunggu dulu. Puan, perahuku tidak diciptakan untuk lautan seperti itu. Perahuku sudah tidak mampu menghadapi ombak sekeras dirimu, yang terombang ambing tak jelas dan mencoba menemukan jawabanmu di samudera antah berantah. Walaupun akhirnya kau menyerah dengan cara paling bisu, meninggalkan aku bersama sang perahu, dimana apa yang kau lakukan menjadi kebingungan terbanyak bagi sengsara di benakku. Aku kehilanganmu dan segala arti kebahagiaan saat melihat laut untuk pertama kali.

Puan, sungguh mungkin ada kesempatan untuk kau dan aku berpamitan. Kali ini adalah kali terakhir aku ingin berlayar, bukan karena perahuku rusak, bukan juga karena aku takut tenggelam di lautan yang tak kukenal, tapi karena satu hal; Kau akan tetap jadi lautan paling menyenangkan untuk kujelajahi sekaligus petualangan sia-sia yang pernah kuhampiri. Tanpa peta tanpa lokasi, arah yang kutuju adalah senyum mu seorang. Jika bukan engkau, maka selamanya perahku tidak akan mau berfungsi. Untukmu yang dicintai oleh sang perahu melebihi luasnya lautan yang tak pernah ia ketahui. Disana aku tahu; kau ada, dihatiku yang terdalam. Biarkan aku mengucap selamat tinggal untuk terakhir kali. Setelah ini aku ingin sadari tentang banyak hal, bahwa lautan memang tempat yang menakutkan untuk sekedar di sayangi dengan sepenuh hati.

Piagra Langit SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang