13

61.7K 4.8K 207
                                    

Hari masih sangat pagi. Semalaman aku hanya bolak balik di kasur tanpa bisa memejamkan mata. Saat dini hari baru bisa terlelap, itupun harus kembali terjaga karena alarm ponsel Kak Tessa berdering.

Perlahan aku meraih sendal, ke kamar mandi untuk mencuci muka dan mengganti pakaian tidurku dengan kaus longgar, celana pendek dan jaket. Mengganti sendal dengan sneakers.

Aku berjingkat keluar, tidak berniat membangunkan siapapun. Aku harus membuat diriku kelelahan agar aku bisa tidur.
Kuayunkan kakiku konstan menyusuri tepian pantai. Berlari kecil setelah melakukan peregangan dan pemanasan.
Keringat sudah mulai membasahi tubuh dan wajahku.
Pikiranku terlalu kacau hingga musik yang mengalun dari headset tak bisa kunikmati dengan baik.

Saat aku berbalik untuk yang ketiga kalinya setelah bolak-balik melewati villa, aku melihat Kak Dion tersenyum melambaikan tangannya.
Aku membalas lambaian dan senyumnya ala kadarnya dan tetap meneruskan lariku. Kakiku sudah lelah. Keringat semakin membanjir, tapi aku tidak mau berhenti, hingga Kak Dion menarikku untuk berhenti dan melepaskan headset yang kukenakan.

"Berhenti, Ra!" hardiknya.

Nafasku memburu.
Kak Dion mengajakku berjalan menjauh dari Villa, duduk di salah satu warung kosong yang biasanya kalau siang digunakan penduduk untuk berjualan kelapa muda dan makanan kecil.

"Kamu ada masalah ya? Dengan tunanganmu? Ada apa, Ra? Gara-gara aku?" Kak Dion memberondongku dengan pertanyaan.

Aku menggeleng dan menunduk. Apa iya aku harus menceritakan semuanya pada Kak Dion? Bukankah seharusnya aku menumpahkan semuanya pada Kak Bintang yang notabene adalah kakakku?
Kak Dion hanyalah teman Kak Bintang. Tapi perhatian dan perlakuannya juga tutur katanya membuatku nyaman.
Aku bimbang. Ini masalahku. Kak Bintang benar, aku harus membicarakannya. Tapi dengan siapa? Mas Dewa? Apa aku bisa? Laki-laki itu kupikir hanya bisa melarang, mengatur, memerintah dan marah-marah tidak jelas. Huh!

Genggaman hangat Kak Dion membuatku tersadar dari lamunan batinku yang berperang.

"Cerita saja. Aku bisa menjadi pendengar yang baik buatmu. Itupun kalau kamu mau. Masalah itu bukan untuk dipendam atau dihindari. Masalah itu untuk diselesaikan, Ara. Masalah tidak akan selesai meskipun kamu lari bolak balik ratusan kali hingga kakimu patah. Kalau kamu tidak mau bercerita padaku, kamu bisa bercerita pada Bintang," Kak Dion mengusap rambutku perlahan.

"Aku.... aku tidak... tau... aku ummm... sebenarnya... aku dan Mas Dewa dijodohkan," ragu-ragu aku memandang Kak Dion. Ia tersenyum dan mengangguk.

"Aku tau."

"Tapi... Mas Dewa itu.... ummm...."

Kak Dion mengeratkan genggamannya, seolah membagikan kekuatan agar aku bisa bertahan.

"Sejak pertunangan itu, Mas Dewa membatasi ruang gerakku. Aku tidak bisa bersama teman-temanku seperti sebelumnya. Kalau aku melanggar, dia akan marah-marah. Mas Dewa juga dengan seenaknya memajukan pernikahan yang seharusnya masih tahun depan menjadi bulan depan. A-aku belum siap menikah. Aku masih ingin kuliah. Aku masih ingin bersama teman-temanku," aku tersengal saat air mata mulai ikut berbicara.

"Dan kamu melawannya dengan menghindarinya?"

Aku tertegun memandang Kak Dion. Bagaimana ia bisa tau? Apa dia paranormal juga? Kenapa banyak sekali paranormal di sekelilingku?

Suara tawa geli Kak Dion membuatku makin melongo. Dengan lembut ia mengusap air mataku. Kenapa laki-laki satu ini punya lesung pipi yang bisa menambah manis wajahnya? Sikapnya juga baik dan lembut. Apalagi suara merdunya. Ada ya laki-laki sesempurna itu? Apa ada kekurangannya? Sejauh ini aku belum menemukan kekurangannya sedikitpun.

MY POSSESSIVE LECTURER  (Sudah terbit Di GOOGLE PLAY BOOK)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang