8

68.9K 5.1K 274
                                    

Aku menunduk. Nyaliku menciut mendapati sorot tajam dosen galak dan mesum yang sekarang berkacak pinggang di hadapanku.
Kugerakkan jari kakiku mengais pasir dengan gelisah. Sendal jepitku terkait di jari tanganku, sesekali kugoyang.

"Kenapa diam? Ayo jawab!"

Aku mendongak memandangnya. Sesekali kulirik Jovan yang memandangku dan Mas Dewa bergantian dengan bingung.

"Tunggu Ndra. Sebenarnya ada apa sih? Kenapa lo marah-marah dengan Kiara?" Jovan bertanya, mungkin iba melihatku tidak berkutik di hadapan temannya.

"Sebaiknya lo gak usah ikut campur, Van!" suara dingin Mas Dewa membuatku menggigil. Apalagi tatapannya sama sekali tidak beranjak dariku. Sorot matanya seperti bisa mengeluarkan sinar laser yang akan dengan mudah memotong-motongku menjadi beberapa bagian.

"Emang Kiara buat salah apa?" Jovan masih berusaha meredakan amukan Mas Dewa padaku.

"Maumu apa sih? Aku sudah sabar ya, Ra! Tapi kamu terus kabur-kaburan. Apa kamu mau pernikahan dipercepat minggu depan?" nada galak Mas Dewa mengabaikan pertanyaan Jovan.

"Hah? Ja-jangan Mas! Kok Mas Dewa gitu sih? Seenaknya maju-majuin tanggal pernikahan?" aku melotot antara kesal dan takut.

"Pernikahan? Siapa yang mau nikah?"

Aku menggigit bibir ketika Jovan bertanya lagi. Aku bingung harus menjawab apa.
Kudengar Mas Dewa menggeram.

"MAS!" pekikku ketika Mas Dewa menarik lenganku dengan sentakan kuat hingga aku menubruk dadanya.
Duh! Ini dada atau dinding beton sih? Aku mengusap dahiku.

Lalu kurasakan daguku diangkat dan sebuah benda kenyal dan basah menyentuh bibirku.
Aku membelalak menyadari Mas Dewa menciumku tiba-tiba dengan kasar di depan Jovan. Dan jangan lupakan beberapa wisatawan lain yang kebetulan berada di sekitar tempat itu.

Sekuat tenaga aku berontak dan kudorong dadanya kuat-kuat. Mas Dewa hanya mundur selangkah, tapi ia segera meraihku lagi dan kembali menciumku.

"GANENDRA!"

"MAS GANENDRA!"

Suara teriakan keras dari dua orang berlainan jenis memekik kaget, hingga Mas Dewa melepaskan bibirku dan menoleh tanpa melepaskan cekalannya di kedua lenganku.

"Lo gila, Ndra!" seru Jovan.

"Kenapa? Apa aku tidak boleh mencium tunanganku sendiri?" Mas Dewa menjawab sinis.

"Tunangan?"

Aku melihat suster Lea memekik lirih memandangku dan Mas Dewa bergantian. Tatapannya tidak dapat kutebak. Ia lebih tampak seperti kebingungan.

Kurasakan cekalan Mas Dewa di lenganku mengendur saat ia memandang Jovan dan suster Lea bergantian, sementara banyak wisatawan lain yang mulai tertarik memperhatikan kami.
Kusentakkan lenganku kuat-kuat dan berlari meninggalkan mereka. Ini memalukan! Dua kali! Dua kali ia menciumku!

Tak kuhiraukan teriakan Mas Dewa dan Jovan yang memanggilku. Aku menyelinap di antara orang-orang, berusaha mencapai tempatku menginap dengan segera. Aku tidak bisa menahan tangisku.

.

.

.

💟💟💑💟💟

.

.

.

Dengan kasar aku bangun dari telungkupku. Bergegas ke kamar mandi. Malam sudah semakin tinggi. Aku mencuci muka setelah menangis lama. Kusambar cardigan biruku dan berjalan keluar sambil mengenakannya.
Kubalas sapaan beberapa staff hotel sambil terus berjalan keluar. Aku butuh udara segar sekarang.

MY POSSESSIVE LECTURER  (Sudah terbit Di GOOGLE PLAY BOOK)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang