https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=10209482921268592&id=1792841035
#Maila 3
Sudah lama ia tak melihat tawa lepas Maila. Anak istimewa ini lebih sering terlihat murung dan meracau tak karuan, bila suasana hatinya sedang tak baik maka ia akan mengamuk, melemparkan semua barang yang berada di sekitarnya bahkan tak segan membenturkan kepalanya ke dinding berkali- kali. Sebagai ayah Hanafi selalu khawatir akan nasib Maila di masa depan, bagaimana gadis kecilnya akan melalui kerasnya hidup. Bila sekarang ia dan nenek Maila masih ada, tapi nanti, sepuluh tahun yang akan datang, dua puluh tahun yang akan datang, tak akan pernah ada jaminan mereka akan terus berada di sisi Maila.
Hanafi menghembuskan asap rokoknya. Semenjak kematian isterinya, entah sejak kapan itu dimulai, ia mulai menjadi pecandu rokok. Yah ia ingat seorang teman menawarkannya dan dengan cepat ia menerimanya. Sudah dua tahun ia menjadi pecandu tembakau itu, bukan satu atau dua bungkus sehari, bila banyak pekerjaan yang menumpuk ia bisa menghabiskan hingga tiga bungkus sehari. Ia tak pernah perduli dengan kesehatannya, itu bukan prioritas utamanya, tujuan hidupnya kini adalah mengumpulkan pundi- pundi uang sebanyak- banyaknya, bukan untuknya tapi untuk Maila. Permata kecilnya yang wajahnya selalu mengingatkannya pada Nabila isterinya.
Masih tergambar jelas di benak Hanafi kejadian malam itu. Malam dimana ketika ia diberi tahu bahwa mobil yang dikendarai isterinya tertabrak truk pengangkut karet. Mobil Nabila terlempar ke dalam jurang, begitupun tubuh isterinya. Polisi mengabarkan Nabila sudah tak bernyawa ketika ditemukan. Awalnya ia masih berharap Nabila masih hidup, tak mungkin isterinya pergi begitu cepat. Ia masih yakin takdir tak akan begitu kejam dengan meninggalkannya dan Maila tanpa Nabila.
Dan semua harapan Hanafi luntur ketika matanya secara langsung menyaksikan jenazah isterinya sudah terbalut kain kafan. Nabila pergi. Ia bahkan tak sempat berpamitan dengannya. Ia hanya berkata akan pergi sebentar membeli makanan kecil. Ia tak pernah bilang akan pergi jauh dan tak kembali. Wanita itu berbohong, dia selalu berjanji akan menemaninya membesarkan Maila. Dan sekarang, ia pergi. Meninggalkan ia dan Maila. Hanafi bisa apa? Bahkan air mata tak setetespun jatuh dari sudut matanya. Rasa sedih itu terabaikan oleh rasa kecewa, Nabila tak pernah menepati janjinya. Ia pergi dengan seenaknya, takdir dengan egois mengambilnya.
Mengapa harus dia? Mengapa di saat ia dan Maila sedang membutuhkannya? Masih selalu terngiang di telinga Hanafi jeritan pilu Maila, berulang ia ingingmenyusul ibunya masuk ke liang lahat. Beberapa anggota keluarga tampak kewalahan menahan tubuh kecil Maila. Semua mengasihani Maila, semua menangisi penderitaannya, sungguh malang anak ‘istimewa’ ini, harus menjadi piatu diusia yang sangat kecil. Mereka abai akan rasa Hanafi, tak tahukah mereka, bukan hanya Maila yang tersakiti, tak pahamkah mereka bukan hanya Nabila yang pergi, ada separuh jiwa Hanafi yang ikut pergi meninggalkan sisa jiwa lainnya yang hancur tak tersisa.
Tak ada sosok yang dapat menggantikan posisi Nabila di hati Hanafi. Tak terhitung sudah berapa wanita yang berusaha hadir mengisi ruang kosong di hati Hanafi. Ibunya, keluarganya dan beberapa rekan kerjanyapun berusaha mengenalkannya dengan beberapa wanita. Hanafi tak pernah menutup diri, ia menjalani setiap perkenalan dengan beberapa calon ibu Maila. Semua berjalan lancar sampai para wanita itu mengenal Maila. Beberapa langsung menunjukkan keberatan dengan kehadiran Maila dan menyarankan agar hidup terpisah dengan Maila, yang lain berpura- pura menerima kehadiran anaknya itu tapi dari sorot matanya Hanafi dapat melihat jelas ada aura tak suka bahkan cenderung jijik melihat tingkah Maila.
Untuk apa ia mencari pengganti Nabila jika semua tak dapat menerima Maila apa adanya. Banyak yang mengatakan bahwa ia bodoh mengorbankan kebahagiaannya demi Maila, selebihnya berargumen bila dengan menikah ia akan punya kebahagiaan baru dan tak selalu memikirkan Maila di dalamnya, tapi nuraninya tak pernah berkompromi, bayang- bayang akan Nabila selalu menghalangi langkahnya. Dan ia menyerah, biarlah ia begini dalam sendiri, biar takdir yang akan membawa kemana hidupnya akan dibawa.