https://m.facebook.com/groups/488655531196343?view=permalink&id=1890002344394981
#Maila 4
Hanafi mengecek beberapa sample cabe segar baru panen yang siap dikirim ke berbagai mini marketnya. Ia sudah memulai usaha dibidang pertanian ini ketika lulus kuliah. Sebagai seorang putra asli Muaradua, sebuah kota di ujung Sumatra Selatan yang berbatasan langsung dengan provinsi Lampung dan Bengkulu, sejak kecil Hanafi selalu prihatin dengan nasib petani asli daerahnya.
Ia ingat, di waktu sekolah teman- temannya pasti akan menunduk malu ketika harus menjelaskan bahwa pekerjaan orang tuanya hanyalah petani. ‘Hanya’, Hanafi benci kata itu. Baginya petani memegang peranan yang penting dalam roda kehidupan manusia, simple saja, oke kau mempunyai banyak uang dan emas berlimpah, tapi bila kau tak punya beras, sayur, atau apapun untuk dimakan, kau akan mati kan? Lalu apa gunanya uang itu? That is the point! Betapa Pertanian adalah sektor penting yang seharusnya mendapatkan perhatian yang penting juga dari seluruh lapisan masyarakat. Bukan hanya pemerintah. Tapi semua!
Ia tahu, ada mata rantai yang salah ketika produksi tani sangat dibutuhkan tapi kesejahteraan petani tak kunjung membaik. Hanafi yakin bahwa para tengkulak licik yang mempermainkan hargalah jawabannya. Mereka dengan pintarnya mengelabui dan menjerat petani dengan hutang lalu ketika panen tiba dengan mudah mereka akan memonopoli penjualan dan menekan harga semurah mungkin. Penjajahan zaman Belanda yang diterapkan oleh sesama pribumi!
“Ini cabe-cabe yang sudah di sortir pak.” Amir salah satu pegawai kepercayaannya menjelaskan.
Hanafi mengecek ulang beberapa keranjang yang penuh berisi cabe. Ia membolak- balik cabe tersebut hingga dapat memeriksa sampai ke bagian dalam. Tak boleh ada yang terlewat.
“Mengapa masih ada yang setengah tua bahkan yang masih muda dicampur?” tanya Hanafi sambil menunjukkan beberapa buah cabe dengan warna setengah hijau, tidak merah sempurna.
“Harga cabe lagi bagus pak, sayang kalau tidak dipanen, lagian konsumen tidak akan protes kalau kita mencampurnya, lagian cuma sedikit kok pak!”
“Bila tujuanmu hanya soal untung besar yang sesaat mungkin itulah caranya, tapi bila kepercayaan konsumen dan keberkahan yang kau cari maka kau salah besar Amir!”
Amir diam. Sudah ia duga pak Hanafi takkan pernah setuju dengan cara licik walau sekecil apapun. Ia menyesal sudah mengikuti saran para pemetik cabe tadi. Bodohnya dia, sejak awal pak Hanafi sudah menekankan kejujuran, mengapa juga ia harus bertindak melenceng.
“Tak apa, sortir ulang saja, ajak para pegawai yang lain.”
“Iya pak.” Amir berkata pasti. Ia sangat malu kali ini. Bergegas ia memerintahkan beberapa pegawai untuk mensortir ulang cabe-cabe tersebut.
Hanafi menarik nafas panjang. Inilah budaya masyarakat awam yang harus dibasmi. Tahukah mereka bahwa kepuasan para konsumen adalah kunci sebuah kesuksesan. Terkadang konsumen tak akan pernah mempermasalahkan soal harga asal barang yang mereka terima merupakan kualitas terbaik apalagi didiringi dengan pelayanan yang memuaskan. That is the key.
Di bidang pertanian nama Hanafi bukanlah nama yang asing di Sumatra Selatan. Selain memiliki lahan pertanian berpuluh hektar ia juga memiliki beberapa mini market yang khusus menjual berbagai macam sayuran, semua tersebar di hampir setiap kabupaten di Sumatera Selatan. Bahkan di Palembang ia sampai memiliki tujuh cabang yang omset penjualannya bisa mencapai ratusan juta perbulan.
“Pak Hanafi, ada yang mau ketemu!” sahut Amir.
Hanafi melihat seorang pria seusia dirinya berdiri di sebelah Amir.
“Oh, silahkan duduk pak!”
Laki- laki itu duduk di sebuah bangku kayu tepat di depan Hanafi.